Munawir Aziz, peneliti, alumnus pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM)
Garut News ( Jum’at, 30/01 – 2015 ).
Di tengah gelombang pasang politik Indonesia saat ini, Presiden Joko Widodo melantik anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Pada 19 Januari 2015 kemarin,
Presiden Joko Widodo melantik sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang terdiri atas tokoh-tokoh berpengalaman.
Pelantikan anggota Wantimpres menjadi isu hangat di tengah badai politik antara elite KPK dan Polri.
Mereka itu Subagyo H.S. (mantan Kepala Staf Angkatan Darat, politikus Hanura); Sidarto Danusubroto (mantan Ketua MPR), Sri Adiningsih (ekonom), Yusuf Kartanegara (mantan Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan), KH Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PBNU), Suharso Monoarfa (politikus PPP), Rusdi Kirana (Wakil Ketua Umum PKB), Jan Darmadi (politikus Partai NasDem), dan Abdul Malik Fadjar (tokoh Muhammadiyah).
Dewan ini merupakan tim strategis yang bertugas memberikan pertimbangan khusus ihwal masalah-masalah krusial yang menyangkut nasib bangsa.
Wantimpres bukan sekadar “sesepuh” bagi Presiden Joko Widodo, namun secara serius memberikan kontribusi untuk ikut memberikan arahan sekaligus pertimbangan menyangkut nasib bangsa: mengawal visi presiden dan pemerintahan.
Akan tetapi, dari nama-nama yang dipilih, terlihat unsur partai politik koalisi pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla sangat dominan.
Unsur partai politik ini menjadi pertanyaan penting tentang kredibilitas dan kontribusi Wantimpres, apakah serius mendampingi Presiden Jokowi dalam ide-ide dan solusi strategis akan tantangan bangsa, ataukah hanya menjadi kepanjangan tangan elite partai politik, untuk mengamankan lingkaran dalam di pemerintahan Joko Widodo?
Dari sisi historis, peran Wantimpres sangat dibutuhkan untuk pertimbangan strategis atas keputusan presiden.
Wantimpres dibentuk pada 2007, di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dengan rujukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
UU No. 19/2006 berbunyi: “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.”
Posisi Wantimpres, jika dirunut, berakar pada eksistensi Dewan Pertimbangan Agung (DPA), berdasarkan legitimasi hukum Pasal 16 UUD 1945.
Langkah Presiden Joko Widodo dalam menentukan nama anggota Wantimpres menjadi perdebatan publik.
Selain kental dengan aroma partai, salah satu anggota Wantimpres juga memiliki rekam jejak dalam bisnis perjudian di Tanah Air.
Dari sisi ini, timbul pertanyaan lanjutan: seberapa berkuasa Presiden Jokowi di hadapan petinggi-petinggi partai politik yang mengusung koalisi Jokowi-Jusuf Kalla?
Selain itu, Presiden Jokowi juga dihadapkan pada kerumitan politik, baik gesekan antara KPK dan Polri maupun kegaduhan di lingkup internal PDIP.
Jokowi perlu membuktikan bahwa dirinya berdaulat sebagai presiden, dengan berani mengeksekusi kebijakan strategis untuk masa depan bangsa, sesuai dengan janji politiknya.
Jokowi juga perlu membuktikan bahwa dia adalah presiden rakyat Indonesia, bukan sekadar “petugas partai”.
Pembuktian ini dapat dibaca dari sejauh mana relasi presiden dengan Wantimpres. Apakah Wantimpres memberi kontribusi untuk kebijakan strategis presiden, atau sebaliknya?
Janji Jokowi perlu pembuktian. Sejarah yang akan mencatatnya.
********
Kolom/Artikel Tempo.co