Eddi Elison, Asisten Direktur Pancasila Center DHN 45
Jakarta, Garut News ( Senin, 20/01 – 2014 ).
Menjelang Pemilu 2014, materi kampanye yang paling sering dijual adalah “perubahan”.
Beberapa partai politik secara terbuka mengobral kalimat: “Rakyat bosan dengan reformasi. Saatnya kita melakukan perubahan. Kami (nama parpol) konsekuen melaksanakannya!”
Apakah “bisnis perubahan” akan benar-benar laris, tentu kita harus menanti setelah 9 April 2014 mendatang.
Namun menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan rakyat, agar berhati-hati saat membeli “perubahan”. Ia “makhluk aneh dan unik”.
Diburu/dicari (wanted), tetapi Sang Pemburu tak tahu bentuk fisiknya.
Masih dalam angan-angan.
Kecuali jika “makhluk aneh” itu sudah diberi “nyawa”.
Fisiknya bisa berbentuk pabrik, gedung, jalan raya, atau bahkan peraturan atau undang-undang.
Yang diidamkan rakyat adalah bentuk fisik yang berbeda dari sekarang.
Maklum, yang tersedia saat ini justru jadi penekan jantung sosialita mayoritas rakyat.
Yang jadi pertanyaan, apa sih perubahan itu?
Bukankah reformasi = perubahan?
Apa setelah pemilu jadi “re-reformasi” namanya?
Berarti parpol menginginkan perubahan cepat.
Untuk itu, perlu dikaji pendapat Dr Soerjono Soekanto, (1981); perubahan yang cepat biasanya mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang sementara sifatnya, di dalam proses penyesuaian diri.
Disorganisasi tersebut akan diikuti oleh suatu reorganisasi yang mencakup pemantapan daripada norma-norma dan nilai-nilai yang baru, sehingga melembaga.
Sedangkan S.N. Eisenstadt (1968) memastikan bahwa perubahan akan menyebabkan terjadinya berbagai masalah.
Kita tentunya tidak membantah bahwa penyebab utama multikrisis yang terjadi di negeri ini adalah faktor eksternal yang “meledak” di awal Era Reformasi.
Hal ini jelas berada di luar jangkauan bangsa kita untuk mencegahnya.
Apalagi ada di antara kita yang melacurkan jati dirinya sebagai insan Pancasila, sehingga ikut bergelimang ke dalam “kubangan lumpur” bikinan asing.
Hal ini terutama jika dikaitkan dengan the new global financial games, yang dengan cepat mengantar negeri ini mengalami keruntuhan di berbagai sektor, terutama mental/moral.
Harus diakui bahwa perubahan demi perubahan yang lahir setelah Era Reformasi (1998) tidak dapat dipisahkan dari pengaruh hubungan antarbangsa, dalam konteks sistem politik internasional.
Indonesia sangat dipengaruhi oleh dinamika internal dan eksternal, berupa gaya sentrifugal dan gaya sentripetal.
Yang melekat pada Indonesia saat ini (pasca-reformasi) adalah gaya sentrifugal, melemahkan kohesi kebangsaan, sehingga secara geopolitik posisi negara berada di kelas transisi, begitu kata mantan Gubernur Lemhannas, Prof Dr Ermaya Suradinata.
Karena dalam keadaan transisi, timbul tuntutan yang tidak dapat dihindari, yakni rakyat menginginkan perubahan sebagai “jembatan emas” untuk mencapai kemakmuran, sehingga diperlukan pendalaman terhadap geopolitik oleh semua elemen bangsa. F. Ferkiss (1974) mengatakan perubahan merupakan tuntutan manusia untuk memenuhi kebutuhan pribadinya yang mencakup aspek spiritual maupun materiilnya, sementara kebutuhan primer manusia terus berkembang menyesuaikan diri dengan tantangan sosial maupun alam.
Kita tentunya sadar bahwa perubahan yang dikehendaki rakyat adalah perubahan mendasar. Bukan seperti pada 1998, yang tidak terprogram alias asal jadi, dengan dasar yang rapuh, yakni UUD 1945 yang empat kali diamendemen. Dampaknya, perubahan atau perestroika di Era Reformasi bagaikan sihir belaka.
Perubahan yang dicita-citakan rakyat setelah Pemilu 2014 mutlak memerlukan fondasi yang benar-benar kokoh.
Kita dapat meresapi jika sekian banyak ormas menghendaki agar UUD 1945 produk MPR hasil Pemilu 1999 pimpinan Amien Rais dikaji ulang. UUD 2002 (dari 37 ayat jadi 199 ayat + Penjelasan dihapus plus intervensi asing), fondasinya rapuh, sehingga melahirkan “krisis seribu muka” seperti yang kita alami saat ini.
Semua itu sudah dikaji oleh Gerakan Penyelamat Pancasila pimpinan Try Sutrisno, PPAD (Persatuan Purnawirawan AD) pimpinan Letjen (Pur) Soerjadi, Legiun Veteran pimpinan Letjen (Pur) Rais Abin, DHN 45 pimpinan Jenderal (Pur) Tyasno Sudarto, FOKO pimpinan Letjen (Pur) Saiful Sulun, dan banyak lagi ormas/ilmuwan/tokoh atau cendekiawan, termasuk Komnas Penyelamat Pancasila dan UUD 1945 yang dikoordinasi Gus Dur (2006).
Seharusnya parpol yang rajin “me-wanted” perubahan, tekun pula meyakinkan rakyat; perubahan dengan fondasi kokoh, yakni mengubah UUD 2002.
Kolom/artikel Tempo.co