Sabtu 04 Jan 2020 11:47 WIB
Red: Muhammad Subarkah
“Jangan angggap enteng klaim Cina atas wilayah Natuna”
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Apa masih ada yang ingat debat capres 2019 lalu” Kalau tidak, memang keterlaluan dan menasbihkan bangsa ini bangsa pelupa. Sejarah yang baru kemarin saja dilupakan, apalagi sejarah yang sudah ribuan atau ratusan tahun silam.
Anehnya, meski sejarah Indonesia banyak yang seperti mitologi misalnya soal kebesaran Majapahit dan Gajah Mada, Wali Songo yang diklaim seseorang sejarawan asalnya dari Cina, perang Bubat, hingga adanya Ratu Adil banyak yang percaya dengan harga mati.
Ingat juga, pidato Prabowo pada debat pilres itu mengatakan: Si Vis Pacem Para Bellum (Untuk berdamai kita harus siap perang. Kala itu banyak orang yang mengatakan pidatonya terkesan pongah. Mereka mengejek-ejek omongan dia ngawur. Celoteh Prabowo bila Indonesia 2010 terancam bubar —dengan mengutip novel ‘Ghost Fleet’ dianggap sebagai bualan.
Nah, kini ancaman sudah di depan mata. Prabowo sudah jadi menteri pertahanan, Jokowi jadi Presiden lagi. Maka kedua-duanya harus membuktkan bahwa ancaman itu riil. Menganggap enteng klaim Cina atas wilayah Indonesia di Kepulauan Natuna bukan sembarang.
Apalagi wilayah itu bernilai srategis baik secara geopolitik, perdagangan, hingga kekayaan alam karena penuh dengan kandungan gas dan minyak yang dahsyat. Publik dunia pun sudah tahu bila kemungkinan perang masa depan berada di wilayah ini, atau bukan lagi di Timur Tengah.
Lucunya, Indonesia terkesan diam dan memposisikan diri sebagai anak manis. Mereka anggap ancaman Cina itu angin lalu. Penerobosan kapal Nelayan Cina di perairan Natuna dianggap sebagai main kucing-kucingan belaka. Elit hari ini menganggap Indonesia gak mau ribut. Ini karena mengganggu investasi dan ‘soft diplomasi’ (diplomasi lunak).
Padahal publik sudah berteriak kencang. Negara lain seperti Philipina, Malaysia, hingga Vietnam pun sudah berteriak lantang. Bahkan yang paling keras bersikap adalah Vietman, negara itu sama sekali gak segan serta jeri dengan klaim Cina meski wilayah daratannya menyatu. Juga dengan Philipina di mana Presiden Duterte juga tak kalah keras menggertak bila Cina berbuat kurang ajar di perairannya.
Sikap elit kali ini, bila dilihat dari sejarah memang terlihat menyimpang. Dahulu di zaman akhir kerajaan Singasari dan awal kerajaan Majapahit ada kisah tindakan keras yang dilakukan Raja Singasari Kertanegara di dalam menghadapi ekpspansi Cina. Dia memutus telinga utusan kaisar Cina, Mengki, yang meminta agar Singasari tunduk pada kekasiaran Tiongkok.
Tak hanya diputus telinga, Mengki, pun disuruh pulang seraya mengalungkan surat tak mau tunduk kepada Kaisar Tiongkok dengan cara menyelipkan surat itu di daun telinga Mengki lainnya yang belum terputus. Kertanegara balik menantang Kaisar Cina atau Tiongkok itu.
Dan betul, ketika balik ke Cina, Mengki mengadu kepada kaisar. Dan melihat Mengki sudah kehilangan sebelah telinganya dan malah menerima surat tantangan dari raja Singasari, Kaisar itu pun murka, dia segera mengirimkan bala tentara ke Jawa (Singasari).
Sialnya, setelah sampai di Singasari situasi politik sudah berubah. Raja Singasari, Kertanegara, sudah lemah dan sebentar lagi terancam tumbang oleh perlawanan Raja Kediri dari Jayaktawang. Benar, tak lama dia pun tumbang. Menantunya yang sempat lari ke Madura, R Wijaya, melihat kesempatan besar untuk ganti melumpuhkan Jayakatwang. Maka bala tentara Cina yang tadinya hendak berburu Kertanegara, kini dipakai Raden Wijaya untuk menumbangkan Jayakatwang.
Siasat Raden Wijaya berhasil. Kini dia berhasil menumbangkan kekuatan Jayakatwang. Dia kemudian mendirikan kerajaan Majapahit yang kini berada di sekitar wilayah Mojokerto itu.
Setelah kerajaan berdiri, Raden Wijaya kemudian berfikir bila Majapahit harus mandiri. Ketergantungan kepada pendatang tentara asing Cina harus dihentikan. Akhirnya dia memutuskan agar tentara Cina itu diusir agar pulang ke negaranya. Dia melakukan serangan balik mendadak.
Alhasil, karena ada serangan kilat itu bala tentara Cina kocar-kacir. Yang selamat sempat berhasil melarikan diri dengan cara buru-buru naik kapal di pelabuhan Tuban yang merupakan hulu sungai Brantas. Yang tidak berhasil mencapai kapal semuanya tewas atau menyerah jadi tawanan. Pendek kata, tentara Cina kalah telak dengan siasat dan keteguhan hati Raden Wijaya.
Cermin kisah dari Raden Wijaya inilah yang kini terlupakan. Banyak yang anggap bahwa diplomasi dengan jargon ‘seribu sahabat masih kurang dan satu musuh terlalu banyak’ selalu tepat sepanjang waktu. Dan ini selalu di klaim sebagai cermin dari politik bebas aktif.
Padahal jargon itu tak sepenuhnya benar. Diplomasi adalah hal yang semu. Dia seperti orang Jawa yang berkata ‘inggih namun mboten kepanggih’ (berkata iya tapi tak ada bukti). Atau seperti kalimat diplomasi yang selalu bersayap dan tak bisa bilang tidak, tapi selalu bilang ‘Yes sir, but’ (Ya tuan, tapi…).
Nah, pada hari-hari ini apa yang akan dilakukan para elit, baik Prabowo dan Jokowi, akan kita saksikan bersama. Mudah-mudahan soal ini tak menguap begitu saja seperti isu pesawat Garuda, Jiwasraya, Novel Baswedan, dan sebentar lagi banjir Jabodetabek.
Kalau semua itu terlupa, ini membuktikan bila bangsa ini hanya punya ingatan pendek. Nasihat Bung Karno soal “Jas Merah (Jangan Melupakan Sejarah) hanya jadi omongan di warung kopi kaki lima saja.
Jujurlah pada sejarah, mumpung Pilpres masih jauh?
*****
Republika.co.id