Refleksi
10 Jan 2023, 05:00 WIB

“Tidak paham tradisi dan sejarah akan mengakibatkan kemiskinan intelektual”
OLEH NURCHOLISH MADJID
Siapa, baik pribadi maupun kelompok yang disebut kaum “intelektual”? Sebuah pertanyaan yang sangat logis dan absah, namun hampir-hampir tidak diperlukan.
Sebab, sementara memang diakui tidak mudahnya membuat definisi siapa itu intelektual, tapi kenyataannya boleh dikata setiap orang merasa sudah tahu yang dimaksud dengan kata-kata itu.
Maka, dalam keadaan belum tentu kita semua setuju tentang definisi formal (dan verbal)-nya, kiranya kita masih dapat berbicara tentang tugas kaum intelektual.

Karena ciri pertama dan utama setiap intelektual adalah pendidikan dan pengetahuan yang relatif tinggi (baik lewat sekolah ataupun sebagai otodidak), maka panggilan hidup kaum intelektual merupakan refleksi dari kelebihannya sebagai orang yang menggunakan intelek atau akal. Justru itulah mereka dinamakan kaum intelektual.
Tetapi panggilan hidup yang sesungguhnya tidaklah cukup hanya berupa kegiatan menggunakan intelek. Sebab dapat terjadi seseorang atau kelompok menggunakan intelek atau akalnya hanya untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri saja. Dan itu tidak absah disebut sebagai wujud panggilan (luhur) hidup intelektual.
Sebab panggilan hidup intelektual selalu mengandung makna dan semangat kepedulian sosial. Yaitu panggilan hidup karena dorongan hendak berbuat sebaik-baiknya bagi kepentingan masyarakat banyak, dengan menyumbangkan sesuatu yang bersumber dari kelebihan mereka.
“Karena ciri pertama dan utama setiap intelektual adalah pendidikan dan pengetahuan yang relatif tinggi”

Berkaitan dengan ini, perlu disadari bahwa pengetahuan adalah socially constructed, terbentuk secara sosial. Ide-ide pun tidaklah tumbuh karena usaha pribadi semata. Ide-ide selalu merupakan hasil proses sosial dan meliputi masyarakat luas (individual do not construct ideas; ideas are socially constructed).
Karena itu seorang intelektual yang kaya gagasan (resourceful) tidak mungkin hidup dalam isolasi sempurna.
Mau tidak mau ia harus melibatkan diri dalam gejolak sosial di sekitarnya, dan dalam gejolak itulah ia berusaha memberi kontribusi. Sikap isolatif dan eksklusif (terutama dalam arti psikologis, tidak dalam arti fisik semata) akan dengan sendirinya membuat ia kurang subur dalam gagasan, jika tidak dapat disebut miskin pemikiran.
Selain terbentuk secara sosial, pengetahuan juga senantiasa berposisi. Artinya, pengetahuan selalu berdiri di suatu posisi atau tempat, yang kemudian berdampak pada bagaimana pengetahuan itu tegak atau ditegakkan.

Sebab pengetahuan, melalui internalisasinya oleh pribadi, adalah juga berarti “suatu pandangan dari suatu tempat”.
Tidak ada pandangan yang tidak bertolak dari suatu tempat, setiap pandangan tentu bertolak dari suatu tempat (no view comes from nowhere; any view comes from somewhere).
Hal-hal tersebut itulah yang menjelaskan, mengapa seorang intelektual, demi kesuburannya dalam gagasan dan efektivitasnya dalam pelibatan diri, harus paham tradisi dan bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai tradisional.
Tradisi dan nilai-nilai tradisional sebagai hasil akumulasi pengetahuan dan pengalaman suatu masyarakat dalam lintas waktu yang lama menjadi lingkungan besar tugas kaum intelektual, dan dari tradisi itu mereka menimba tidak saja bahan-bahan, tapi juga inspirasi dan motivasi.
“Selain terbentuk secara sosial, pengetahuan juga senantiasa berposisi”
Sebab jika masalahnya ialah ”hukum umum” kehidupan sosial manusia, maka sesungguhnya tidak ada barang yang baru di bawah matahari ini.
Suatu kasus perkembangan di zaman ini selalu dapat ditemukan padanannya pada kasus-kasus masa lampau, sehingga berdasarkan nilai tengah (middle term) antara kasus-kasus yang analog itu dapat dibuat perkiraan yang tepat tentang bagaimana cara memberi responsi kepada tantangan sekarang.
Dan penemuan contoh dari tradisi dan sejarah itu akan menjadi salah satu sumber inspirasi dan motivasi seorang intelektual, di samping inspirasi dan motivasi itu juga akan tumbuh dari komitmennya sendiri kepada suatu nilai, yang komitmen itu merupakan akibat dari ”tempat” yang dipilihnya untuk memangan totalitas persoalan.
Oleh karena itu, tugas para intelektual yang terkemuka di sepanjang sejarah ialah mengadaptasi warisan dan kekayaan kulturalnya kepada tantangan atau tuntutan yang menonjol dari zaman (the job of the prevalent intellectuals at any age is to the dominant challenge or demand of the time).
Jadi tradisi dan sejarah harus dipandang sebagai laboratorium, sekurangnya sebagai museum dan pasti tidak boleh dipandang sebagai kuil atau tempat ibadat.
Karena eksperimen (sosial) telah terjadi, maka sejarah sebagai laboratorium menjadi tempat seorang intelektual untuk mencari “temuan”, seperti halnya seorang pengunjung museum yang baik akan berusaha mencari “temuan” di balik benda-benda kuno, guna membuat padanan-padanan bagi masa sekarang.
Tetapi jika tradisi dan sejarah itu dipandang ibaratkan sebagai kuil atau tempat ibadat, tidak sebagai museum atau laboratorium, maka sikap yang bakal terjadi oleh orang yang memasukinya ialah ibarat penyembahan suatu obyek, yang dengan sendirinya mengandung semangat pemutlakan.
“Tidak paham tradisi dan sejarah akan mengakibatkan kemiskinan intelektual”
Tidak paham tradisi dan sejarah akan mengakibatkan kemiskinan intelektual, dan memasuki dunia tradisi dan sejarah seperti memasuki kuil atau tempat ibadat akan menjuruskan orang ke arah cul-de-sac (jalan buntu) dan kebangkrutan intelektual, sesuai dengan konteks panggilan hidup mereka ialah menggali butir-butir nilai dan temuan kultural dalam tradisi dan sejarah, kemudian memaparkan dan menyajikannya kembali dalam format yang relevan bagi tantangan dan tuntutan zaman.
Untuk dapat memenuhi tugas itu secara lebih baik, kaum intelektual mesti melengkapi dirinya dengan empat syarat: kejujuran atau integritas, minat (curiosity), kreativitas, dan keberanian (courage) intelektual.
Dan yang disebut pertama, yaitu kejujuran atau integritas intelektual, adalah yang paling mendasar. itulah pangkal keandalan dan kredibilitas seorang intelektual.
Wallahu a’lam.
Disadur dari Harian Republika edisi 4 Januari 1993. Nurcholish Madjid (1938-2005) adalah mantan rektor Universitas Paramadina. Ia adalah salah satu budayawan dan pemikir Muslim paling berpengaruh di Indonesia.
******
Republika.co.id/Ilustrasi Fotografer : Abah John.