Tsunami Pernah Berulang di Selatan Jawa

Tsunami Pernah Berulang di Selatan Jawa

718
0
SHARE

Garut News ( Sabtu, 23/01 – 2016 ).

Lokasi Pengamatan dalam penelitian paleo tsunami di Cilacap dan Pangandaran. (BMKG/Ardiansyah/KOMPAS).
Lokasi Pengamatan dalam penelitian paleo tsunami di Cilacap dan Pangandaran. (BMKG/Ardiansyah/KOMPAS).

– Pantai selatan Pulau Jawa telah lama dicurigai para ahli pernah dilanda tsunami besar pada masa lalu, tetapi bukti tertulis tentang hal ini sangat minim. Penelitian paleotsunami terbaru mengonfirmasi adanya jejak tsunami yang berulang kali terjadi di masa lalu.

Temuan mengenai jejak tsunami di selatan Jawa itu dipaparkan dua tim peneliti yang berbeda di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jakarta, Rabu (20/1/2015).

Tim peneliti pertama, gabungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan BMKG, menemukan dua deposit terduga tsunami yang ditandai kondisi struktur tanah di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, dan Cilacap, Jawa Tengah. Melalui analisis penanggalan, ditemukan deposit pertama berasal dari tsunami yang terjadi 2006, sementara deposit lebih tua diduga berasal dari tsunami pada 1867.

“Dugaan deposit dibawa tsunami diperkuat dengan adanya mikroorganisme dari lingkungan laut dalam di endapan ini,” kata Yan Rizal, geolog dari ITB.

Sementara itu, riset Eko Yulianto, ahli paleotsunami dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menemukan lebih banyak lagi deposit tsunami di selatan Jawa dalam bentuk tanah dan kayu. Secara simultan, Eko melaksanakan pengeboran untuk mencari deposit tsunami di Pangandaran dan baru-baru ini di Lebak, Banten.

Di Pangandaran, Eko menemukan jejak tsunami yang diduga terjadi sekitar 400 tahun lalu. Adapun deposit terduga tsunami yang ditemukan di Lebak menunjukkan umur 331 tahun dan 293 tahun dengan toleransi 24 tahun.

Itu artinya tsunami terjadi sekitar tahun 1685 dan 1723. Dengan angka toleransi 24 tahun, Eko memperkirakan deposit tersebut berasal dari gempa yang memicu tsunami pada 5 Januari 1699.

Kejadian gempa pada 5 Januari 1699 ini tercatat dalam Katalog Wichman, tetapi tak diketahui di mana sumbernya. Wichman hanya menyebutkan, gempa ini memicu kerusakan hebat di Jakarta hingga Banten, bahkan memicu terjadinya longsor di Gunung Salak dan beberapa wilayah lain.

“Selama ini banyak yang menduga gempa pada 1699 terjadi di darat karena dampak kerusakannya di daratan. Namun, dari temuan deposit tsunami ini, sekarang ada hipotesis baru, gempa ini terjadi di zona subduksi,” ujarnya.

Potensi iwlayah bahaya tsunami daerah Cilacap dengan ketinggian gelombang 8 meter. (BMKG/Ardiansyah/KOMPAS).
Potensi iwlayah bahaya tsunami daerah Cilacap dengan ketinggian gelombang 8 meter. (BMKG/Ardiansyah/KOMPAS).

Selain itu, Eko menemukan jejak deposit tsunami di selatan Jawa yang terjadi sekitar 1.698 tahun lalu, 2.785 tahun lalu, 3.074 tahun lalu, dan 3.598 tahun lalu. “Tahun ini, kami akan melanjutkan pengeboran dan saya yakin akan makin banyak menemukan deposit tsunami,” ucapnya.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Mochammad Riyadi mengatakan, temuan-temuan itu diharapkan menguatkan bukti sejarah dan sumber-sumber lisan tentang terjadinya tsunami pada masa lalu. Berikutnya, hal itu bisa menjadi dasar sosialisasi di masyarakat untuk kesiapsiagaan tsunami.

Sejauh ini, pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah tentang kerentanan bencana gempa dan tsunami di Indonesia masih minim. Menurut Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami BMKG Daryono, hal itu jadi kendala dalam mitigasi atau pengurangan risiko bencana.

Padahal, dari katalog tsunami yang disusun BMKG, tercatat 230 kejadian tsunami yang pernah terjadi di Indonesia. “Masyarakat umumnya hanya mengingat tsunami Aceh 2004,” ujarnya.

Menurut Yan Rizal, deposit tsunami yang ditemukan di Cilacap dan Pangandaran memiliki kesesuaian umur sehingga diduga peristiwa tersebut terjadi pada saat yang sama. Bisa disimpulkan, wilayah yang dilanda tsunami meliputi Pangandaran dan Cilacap.

“Dari simulasi, saat tsunami tahun 1867, tinggi gelombangnya minimal 8 meter. Landaan tsunaminya luas. Masalahnya, data ini mau diapakan?” kata Yan.

Setelah tsunami Aceh 2004, para ahli meyakini bahwa semua zona subduksi dianggap berpotensi dilanda gempa besar. Studi Rahma Hanifa (2012), dari pergerakan GPS berhasil menghitung potensi gempa di selatan Jawa berkekuatan M 8,2 dan M 8,8.

Temuan sejumlah deposit tsunami tua ini, menurut Eko, mengonfirmasi potensi gempa besar tersebut. (AIK)

******
Editor : Yunanto Wiji Utomo
Sumber : Harian Kompas/Kompas.com

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY