Yuli Tirtariandi,
Pengajar Universitas Terbuka
Garut News ( Selasa, 25/03 – 2014 ).

Sekali lagi adagium populer “tiada musuh atau teman yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan” terbukti.
Keberatan Partai Gerindra atas majunya Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) dari PDI Perjuangan (PDIP) seolah menguji keampuhan adagium tersebut.
Kesepakatan Batu Tulis yang menurut versi Gerindra dilanggar oleh PDIP memang menarik untuk dikaji dalam perspektif etika politik.
Hal ini menyangkut seberapa kuat kontrak politik yang dibuat oleh elite politik.
Argumen versi PDIP bahwa kontrak politik itu berakhir setelah gagalnya duet Megawati-Prabowo dalam pemilihan presiden 2009 juga ada benarnya.
Dengan demikian, tidak ada keharusan PDIP untuk mendukung Prabowo dalam pemilihan presiden 2014.
Semua pihak sudah mahfum bahwa politik adalah urusan siapa mendapatkan kekuasaan, kapan waktunya, dan bagaimana caranya.
Ketika sudah berbicara tentang kapan dan bagaimana caranya, di sini masalah etika politik perlu dipertimbangkan kembali.
Faktor efek Jokowi sudah banyak dibicarakan orang.
Selepas peresmian Jokowi sebagai calon presiden PDIP, pasar langsung merespons positif dengan menguatnya rupiah, sinyal bahwa Jokowi memang diinginkan pelaku usaha sebagai pemimpin Indonesia berikutnya.
Momentum pemilihan presiden 2014 dirasakan adalah saat tepat bagi PDIP untuk kembali meraih kursi RI-1.
Jika Jokowi tidak maju sekarang, situasi lima tahun mendatang belum tentu menempatkan Jokowi di atas angin.
Sebagai seorang kader partai yang baik, Jokowi tentu saja tidak bisa disalahkan.
Ia harus mematuhi perintah dari petinggi partai.
Tak bijak juga rasanya ketika banyak pihak menyerang Jokowi dan mengatakan ia ingkar janji.
Belum tuntas memimpin Jakarta, tapi ia malah mengincar kursi presiden.
Terlalu dini juga kalau kita mencap Jokowi tidak amanah mengemban tugas sebagai gubernur.
Siapa yang bisa menjamin kalau Jokowi pasti menang dalam pemilihan Juli nanti?
Waktu tiga bulan mendatang dapat mengubah peta politik yang ada.
Agar Jokowi tetap memperoleh nilai plus dari segi etika politik, Jokowi tidak perlu mundur dari jabatan Gubernur DKI.
Hal ini sudah diatur dalam UU Pilpres.
Ia cukup mengajukan cuti panjang.
Dengan demikian, ketika tidak terpilih, ia bisa kembali menjalankan amanah memimpin Jakarta.
Tidak ada janji politik yang ia cederai.
Hal ini pun bukannya tanpa dilema politik.
Jokowi akan dianggap tidak serius mencalonkan diri menjadi presiden, karena enggan melepaskan jabatan gubernur.
Kembali lagi, ini hanyalah masalah etika politik.
Tinggal mana yang dipilih oleh Jokowi, apakah lebih memikirkan etika atau mengedepankan kepentingan kekuasaan.
Bukankah selama ini juga kita tidak melihat ada elite politik yang sukarela melepaskan jabatan yang sedang disandangnya demi ambisi mengejar kekuasaan lainnya?
Barangkali hanya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mundur dari jabatan Bupati Belitung Timur karena bertarung dalam pemilihan Gubernur Babel pada 2007, meskipun kalah.
Jiwa besar diperlukan oleh seorang pemimpin untuk bisa mengedepankan etika alih-alih kepentingan politik sesaat, terlebih lagi memenuhi janji politik yang dibuat.
Kita hanya bisa berharap keputusan Jokowi nyapres adalah hal mulia dan sejalan dengan perkataan Aristoteles bahwa tujuan asli pemerintahan adalah menciptakan kehidupan yang makmur dan bahagia. *
******
Kolom/Tempo.co