Garut News ( Sabtu, 09/05 – 205 ).

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly semestinya tak perlu tergesa-tergesa merencanakan pembangunan penjara khusus untuk bandar narkotik.
Langkah ini memberi kesan persoalan laten maraknya peredaran narkotik yang dikendalikan dari dalam penjara disebabkan oleh satu faktor: tidak adanya penjara khusus bagi para bandar.
Cerita penjara menjadi surga bagi bandar dalam menjalankan bisnis memang benar adanya. Data Badan Narkotika Nasional menyebutkan sekitar 70 persen jaringan narkoba di Indonesia dikendalikan dari dalam bui.
Namun terlalu menyederhanakan masalah kalau pemerintah menyimpulkan lingkaran setan bisa diselesaikan dengan menyiapkan infrastruktur semata dan mengabaikan faktor sumber daya manusia.
Pemerintah seperti menafikan eksisnya para bandar dari dalam penjara karena “dibantu” para petugas penjara yang nakal. Banyak kasus membuktikan adanya simbiosis mutualisme antara narapidana bandar narkotik dan sipir.
Misalnya, di penjara khusus narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, yang tergolong berpengamanan ekstraketat, seorang Freddy Budiman masih bisa menjalankan bisnis ilegal dari balik jeruji.
Tak hanya mengatur, terpidana mati itu malah mendirikan pabrik narkotik di dalam penjara. Sudah jelas, Freddy mendapatkan keleluasaan ini lantaran bersekongkol dengan petugas penjara.
Bukan hanya di Cipinang, saat dibuang ke Nusakambangan, Freddy tetap bisa menjalankan bisnis narkotik dalam skala besar. Berbekal telepon umum di penjara–dan tentu saja ditambah bantuan petugas–dia berhasil membangun jaringan besar memproduksi dan mengedarkan narkotik jenis baru.
Semestinya prioritas yang harus diselesaikan Menteri Hukum adalah menambah jumlah petugas di penjara-penjara besar penampung bandar narkotik. Sebab, nyaris di semua penjara itu terjadi ketimpangan antara jumlah petugas dan narapidana yang mesti diawasi.
Contohnya, di Nusakambangan, perbandingan jumlah petugas dan penghuni adalah 1 banding 45. Padahal rasio idealnya adalah 1 banding 7. Kekurangan jumlah petugas diperburuk lagi dengan tidak adanya fasilitas CCTV serta detektor narkoba dan alat elektronik.
Petugas penjara yang terlalu sedikit dan gampang menerima suap membuat pengawasan di penjara amat longgar. Bisnis barang terlarang ini gampang tumbuh karena hampir semua penjara kini dipenuhi para pecandu, pengedar, dan gembong narkoba.
Setelah penambahan jumlah petugas, yang tak kalah penting adalah pemilihan kepala penjara di lembaga pemasyarakatan yang dihuni bandar narkotik.
Jika perlu, jabatan kepala penjara pun dilelang agar mendapatkan orang yang berintegritas dan sanggup menghadapi tekanan serta masalah buruk di sana. Para sipirnya perlu dirotasi, dimutasikan, atau dipensiunkan dini, kemudian diganti dengan petugas baru.
Ini semua untuk memutus mata rantai kongkalikong dengan narapidana.
Pembenahan inilah yang mesti menjadi prioritas pemerintah agar tidak terus dipermalukan oleh borok-borok di penjara.
*******
Opini Tempo.co