Garut News ( Jum’at, 13/02 – 2015 ).

Semua bentuk teror terhadap pimpinan, anggota staf, serta para pembela Komisi Pemberantasan Korupsi tak boleh ditenggang.
Tekanan untuk memengaruhi proses hukum jelas membahayakan sistem peradilan. Sebagai kepala negara, Presiden Joko Widodo akan sangat tercela jika membiarkan semua kekacauan ini berlangsung.
Langkah KPK membentuk tim pengusut kudu didukung. Polisi seharusnya bertindak cepat dalam mengembalikan rasa aman sekaligus menegaskan profesionalisme dan imparsialitas mereka sebagai perangkat negara dalam penegakan hukum.
Siapa pun yang mengetahui informasi tentang kegiatan pengecut itu juga wajib memberi tahu, dan hasil pengusutan sebaiknya diungkap terbuka di hadapan publik.
Teror dan ancaman terhadap KPK tak lepas dari memanasnya hubungan KPK dengan kepolisian, yang dipicu penyidikan terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan dalam kasus suap.
Bukan hanya kepada personel KPK, teror bahkan meluas serta dialami keluarga dan mereka yang terlibat dalam perlawanan terhadap usaha pelemahan lembaga antikorupsi.
Ada yang disampaikan langsung, melalui telepon, pesan pendek, dan sebagainya.
Bukan cuma diteror, KPK juga diserang lewat berbagai kasus. Setelah Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dijadikan tersangka dengan tuduhan menyuruh saksi memalsukan keterangan, anggota pimpinan lembaga ini yang lain juga diancam berbagai kasus berbeda.
Ketua KPK Abraham Samad, misalnya, dibidik dengan kasus pemalsuan dokumen pada 2007.
Cerita ketegangan antara KPK dan Polri sebagai imbas dari penanganan kasus korupsi memang bukan cerita baru.
Kita masih ingat peristiwa “cicak versus buaya” pada 2009. Lalu pada 2012, ketika sekelompok anggota Polri mengepung gedung KPK.
Seperti halnya kali ini, dalam dua peristiwa sebelumnya, sejumlah politikus, ahli hukum, dan sebagian petinggi Polri punya beragam argumen guna memerkuat posisi mereka melawan KPK.
Dalam situasi semacam ini, Presiden Joko Widodo bisa mencontoh teladan Gubernur Sir Murray Mac Lehose, yang memimpin Hong Kong pada waktu terjadi konflik keras antara jaringan polisi korup dan Independent Commission Against Corruption (ICAC).
Puncaknya terjadi pada 1977, ketika kantor ICAC dikepung sepasukan polisi untuk menekan mereka agar tak melanjutkan pengusutan sejumlah kasus yang melibatkan para perwira kepolisian.
Tetapi, seperti diungkapkan mantan komisioner ICAC, Tony Kwok, yang awal pekan ini berkunjung ke Jakarta, Gubernur Lehose tak tinggal diam.
Dia mengambil langkah nyata meredakan situasi melalui keberpihakan yang jelas pada pemberantasan korupsi.
Dengan demikian, ia dicatat dalam sejarah sebagai salah satu pemimpin paling berjasa dalam membangun pemerintahan Hong Kong yang bersih.
Jokowi pun memiliki kesempatan untuk menyelamatkan KPK dari teror dan kriminalisasi. Ia mesti mengembalikan wibawa negara dengan memerintahkan Kepala Polri menyelidikinya, lalu menangkap siapa pun mereka yang telah berlaku liar itu.
********
Opini Tempo.co