Agus Riewanto
Doktor Ilmu Hukum, Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Garut News ( Sabtu, 06/12 – 2014 ).

Pollycarpus Budihari Priyanto merupakan salah seorang yang diduga terlibat dalam konspirasi jahat pembunuhan aktivis HAM Munir.
Dia dinyatakan bebas bersyarat dari penjara setelah menjalani hukuman selama 8 tahun dari 14 tahun yang semestinya dijalani.
Pembebasan Pollycarpus ini semakin menipiskan harapan publik atas terkuaknya misteri kematian Munir. (Koran Tempo, 1/11/2014, hlm. 8).
Bila dilacak secara saksama putusan pengadilan, baik di tingkat pertama (PN), tingkat banding (PT), maupun putusan Mahkamah agung (MA), terhadap kasus Munir dari 2005 hingga 2006, dinyatakan bahwa kematiannya di atas pesawat Garuda pada 7 September 2004 lalu dilakukan oleh sekelompok orang, bukan hanya oleh Pollycarpus.
Bahkan, Pollycarpus hanya dinyatakan ikut serta, bukan aktor utama.
Putusan pengadilan, yang menempatkan kematian Munir ini dalam konteks kejahatan konspirasi oleh suatu jaringan tertentu ini, sesungguhnya sejalan dengan alur pikir dari Tim Pencari Fakta (TPF) Kematian Munir yang dibentuk Presiden SBY melalui Kepres No. 111/2004, yang diketuai Jenderal Marsoedi Hanafi.
Dalam laporan mereka kepada Presiden pada 3 Maret 2005, ditemukan bukti bahwa kematian Munir merupakan kejahatan konspiratif.
Bebasnya Pollycarpus ini secara bersayarat tidak berarti mengakhiri mandat hukum untuk terus menguak misteri kematian konspiratif Munir.
Bahkan, seharusnya ini merupakan momentum pembuktian rezim hukum presiden baru Jokowi untuk memulihkan kepercayaan publik akan sensitivitasnya terhadap isu-isu penegakan HAM, yang memperoleh perhatian internasional.
Ingat, kematian Munir ini telah diadukan oleh beberapa LSM HAM pada Komisi Tinggi PBB dalam acara Commemorating The Assasination of Munir and Human Right Defender di Jenewa, Swiss, pada 29 Maret 2005 lalu.
Artinya, kasus kematian Munir ini telah bergeser dari isu nasional ke internasional. Tinggal menunggu waktu kasus ini akan menjadi agenda utama PBB, yang dapat mempermalukan harga diri bangsa, jika pemerintah baru yang demokratis pada era Jokowi tak bernyali menuntaskan kasus ini.
Publik tak ingin kasus Munir ini terus diselubungi kabut gelap. Kini saatnya era rezim hukum Jokowi mengambil prakarsa untuk menguak tabir kematian Munir dan melanjutkan ke proses penghukuman seadil-adilnya bagi aktor utama, baik orang maupun institusi (korporasi), yang terlibat dalam konspirasi jahat ini dengan setidaknya melakukan tiga terobosan politik dan hukum.
Pertama, secara politik Presiden Jokowi perlu segera merevitalisasi dan membentuk kembali tim pencari fakta (TPF) khusus kasus Munir dan langsung di bawah kendali presiden.
TPF ini perlu melibatkan institusi ataupun individu yang kompeten di bidang hukum dan politik dalam negeri maupun luar negeri, terutama Belanda, tempat kejadian kematian Munir.
Kedua, Jaksa Agung baru didorong memiliki nyali untuk segera melakukan perlawanan hukum secara konkret dengan merajut kembali aneka fakta kejanggalan yang tersisa selama penyidikan dan penyelidikan kasus Munir berlangsung.
Dengan demikian, novum (bukti-bukti baru), sebagai alat melakukan peninjauan kembali (PK) atas dakwaan dan tuntutan jaksa yang dianulir oleh MA, dapat ditemukan.
Ketiga, perlunya terobosan hukum progresif dalam mengungkap skenario dan aktor pembunuh Munir dengan cara mengajak saksi mahkota (Pollycarpus) untuk bekerja sama dan bersedia secara jujur membantu proses hukum, terutama tentang duduk perkara yang sebenarnya, siapa dan pihak mana saja yang terlibat dalam kemungkinan skenario pembunuhan Munir.
Tentu saja cara ini perlu diiringi dengan terobosan hukum untuk memberi reward (hadiah) berupa: perlindungan dan rehabilitasi Pollycarpus dari keterlibatannya dalam kasus ini.
Terobosan hukum model ini dalam hukum pidana dikenal dengan sebutan protection of cooperating persons.
Terobosan hukum ini telah lazim dilaksanakan di Eropa. Bahkan, di Belanda dan Italia diterapkan model terobosan hukum berupa mencari dan menetapkan saksi mahkota (kroonggetuige), yakni tersangka/terdakwa, karena mereka sudi bekerja sama dengan aparat hukum dalam membongkar kejahatan terorganisasi.
Untuk itu, imbalannya, mereka disantuni dan direhabilitasi nama baiknya.
Kutipan:
Kini saatnya era rezim hukum Jokowi mengambil prakarsa untuk menguak tabir kematian Munir dan melanjutkan ke proses penghukuman seadil-adilnya bagi aktor utama, baik orang maupun institusi (korporasi), yang terlibat dalam konspirasi jahat ini dengan setidaknya melakukan tiga terobosan politik dan hukum.
******
Kolom/Artikel : Tempo.co