Statistika, Komputer, dan Jurnalisme Masa Depan

0
82 views

Garut News ( Selasa, 16/06 – 2015 ).

Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).

— Hirofumi Abe, jurnalis NHK, bukanlah jurnalis biasa. Jabatannya memang wartawan, tetapi pekerjaannya bukan cuma lari mengejar narasumber dan mengetik cepat mengejar deadline.

Tugasnya juga memelototi angka dan menganalisisnya, persis seperti seorang pakar statistik.

Dalam salah satu sesi di “World Conference of Science Journalists” (WCSJ) 2015 pada Rabu (10/6/2015) di Seoul, Abe menceritakan pengalamannya menyajikan laporan tentang dampak gempa dan bencana nuklir Fukushima pada tahun 2011.

Sesi Data Jitsu dalam World Cobference of Science Journalists pada Kamis (11/6/2015) di Seoul. Dari kiri ke kanan adalah John Bohannon dari Harvard University, Justin Mayo dari Seattle Times, dan Jonathan Stray dari Columbia University. (WCS).
Sesi Data Jitsu dalam World Cobference of Science Journalists pada Kamis (11/6/2015) di Seoul. Dari kiri ke kanan adalah John Bohannon dari Harvard University, Justin Mayo dari Seattle Times, dan Jonathan Stray dari Columbia University. (WCS).

Dia bercerita tentang pengalaman mengumpulkan data transaksi di supermarket-supermarket di Tokyo setelah kejadian gempa sampai seminggu sesudahnya hingga menganalisis data populasi orang yang memiliki smartphone.

Dari analisis, dia menemukan hal-hal menarik. Dari data transaksi, misalnya, Abe menemukan bahwa penjualan air meningkat tajam sehari setelah gempa. Sempat terjadi penurunan selama enam hari kemudian, penjualan air kembali naik tujuh hari setelah gempa.

Temuan itu, menurut Abe, dapat memberi gambaran tentang kekhawatiran warga Tokyo setelah gempa. “Setelah gempa, warga khawatir akan stok air sehingga memburu. Seminggu kemudian, orang seperti menimbun air karena khawatir radiasi Fukushima mencemari air,” katanya.

Jurnalisme data

Pekerjaan mencari, memelototi, dan menganalisis data untuk menggali sebuah realita seperti yang dilakukan Abe kini menjadi tren baru dalam jurnalisme, menciptakan genre baru yang kerap disebut dengan jurnalisme data.

Jonathan Stray, wartawan freelance dan pengajar pada program gelar ganda Ilmu Komputer dan Jurnalisme di Columbia University, mengatakan, jurnalisme data sebenarnya adalah praktik yang sudah lama berkembang.

“Kita wartawan memang sering berhadapan dengan data, menjadikannya bahan berita. Bedanya, sekarang data journalism itu menjadi lebih sophisticated,” ujarnya ketika berbicara dengan Kompas.com di sela WCSJ 2015.

Jurnalisme data menjadi lebih sophisticated seiring dengan banjirnya data di internet kerap disebut big data, yang memicu perkembangan tools untuk mengumpulkan dan menganalisis data.

Analisisnya akan bergantung pada kejelian terhadap angka dan kemahiran menggunakan tools pada komputer.

Data gempa, misalnya, tak harus melulu didapatkan dari “Badan Meteorologi, Kilmatologi dan Geofisika” (BMKG) atau “United States Geological Survey” (USGS), tetapi juga bisa dipanen dari Google Earth. Gambarannya lebih jelas dan gamblang.

Tentang tools, Justin Mayo, data journalist dari Seattle Times, memaparkan, beragam tools untuk analisis data kini tersedia, seperti Google Refine untuk “membersihkan” data, Phyton yang berperan dalam coding, serta Cometdocs untuk mengubah format data untuk dianalisis.

Charles Sefie, profesor jurnalisme dari New York University, memaparkan bahwa tools lama pun masih berguna. “Pivot Table dalam Microsoft Excel sangat ampuh untuk menganalisis data dengan mudah dan dapat dipakai untuk pemula,” katanya.

Secara proses, jurnalisme data kini juga lebih mengagumkan. Proses pemanenan data tak cuma minta ke pemerintah, tetapi misalnya juga menggunakan program atau kode tertentu untuk memanen data dari media sosial.

Untuk visualisasinya sendiri, berkembang pula beragam perangkat seperti Storify yang gratis dan mudah dioperasikan. Ada juga Adobe Voice yang memungkinkan pembuatan digital storytelling dengan tablet atau smartphone.

Peluang

Jurnalisme data memberikan banyak peluang mulai dari pencarian berita, investigasi, hingga penyajian berita yang lebih kreatif interaktif. Salah satu contohnya adalah laporan berjudul “Do No Harm” yang dilakukan Las Vegas Sun.

Tahun 2010, Las Vegas Sun menelaah lebih dari 2,9 juta data billing rumah sakit. Dari proses itu, terkuak lebih dari 3.600 data cedera yang bisa dicegah, infeksi, serta kesalahan dalam proses operasi.

Dari data tersebut, Las Vegas Sun mengungkap fakta mencengangkan tentang kesalahan tindakan di rumah sakit. Ada lebih dari 300 kasus di mana pasien meninggal akibat kesalahan tindakan yang sebenarnya bisa dicegah.

Jurnalisme data bukan hanya berguna untuk peliputan sains dan teknologi, melainkan juga kasus kriminal maupun korupsi.

Harian Argentina, La Nacion, membuat laporan tentang aset dan korupsi pejabat pemerintah.

La Nacion menelaah data penghasilan dan aset pejabat yang tersedia untuk publik, tetapi tidak mudah dipahami. Data penghasilan lebih dari 800 pejabat dikumpulkan sehingga memungkinkan untuk menganalisis bagaimana pejabat mengumpulkan aset dan membelanjakannya.

Sefie dalam paparannya mengungkapkan, “Data memungkinkan wartawan untuk membuat sebuah berita yang lebih baik.” Modal berita bukan hanya kutipan narasumber, melainkan juga hasil analisis data yang kuat.

Kuncinya, kata Sefie, adalah ketelatenan dan kepekaan pada data. “Bagaimana kita bisa menemukan kecantikan dalam data yang jelek dengan mengorganisasi dan menganalisisnya,” ungkapnya.

Tantangan

Tantangan utama jurnalisme data di banyak negara adalah kemungkinannya dilakukan di tengah transparansi data yang masih minim. Banyak data yang disimpan oleh lembaga pemerintah, tetapi tidak bisa diakses oleh publik dan wartawan dalam format yang bisa diolah.

Timothy James Dimacali, editor dari GMA News di Filipina, mengeluhkan, “Kami masih sulit mendapatkan data. Kalaupun bisa, yang kami dapatkan adalah file dalam format PDF sehingga tidak bisa dianalisis.”

Tantangan lain berkaitan dengan bisnis media massa itu sendiri. Di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, bisnis media mengalami kemunduran sehingga diduga berdampak pada memburuknya kualitas berita.

Jurnalisme data bisa jadi tidak murah. Hirohisa Hanawa, produser News Department di NHK, mengungkapkan, “Untuk memulai jurnalisme data, investasi kami pertama kali sekitar 7 juta yen (hampir Rp 1 miliar),” katanya.

Saat ini, NHK menyajikan jurnalisme data sekali dalam sebulan. Laporan ditayangkan pada Sabtu pukul 21.00 waktu setempat yang menurut Hanawa tergolong sebagai prime time. Share acara itu 5 persen.

Bagi NHK, hal itu bisa dilakukan mengingat media tersebut mendapatkan uang dari pemirsanya. Namun, bagaimana dengan media yang mendapatkan uang dari iklan? Laporan berbiaya mahal dan ditayangkan pada prime time bisa dianggap “kerugian”.

Sumber daya manusia juga merupakan tantangan. Di NHK, ada 10 social media specialist yang bertugas menganalisis tren di media sosial dan membantu untuk memanen data darinya, bukan cuma menge-tweet berita. Bagaimana dengan media lain?

Masa depan

Bagaimana rupa jurnalisme masa depan, terutama di Indonesia? Apakah jurnalisme data itu akan menjadi tren? Apa yang terjadi pada profesi wartawan dan media? Bahkan lebih mendasar, apakah jurnalisme masih akan tetap ada?

Sejumlah jurnalis dan pengajar jurnalisme yang hadir dalam WCSJ 2015 mengungkap bahwa dengan adanya banyak data sekaligus pelatihan mengolah data, jurnalisme data akan dan harus berkembang di semua negara.

Perubahan pada profesi wartawan pasti akan terjadi. Pelatihan jurnalisme data yang kini membidik wartawan membuat profesi wartawan pada masa depan mungkin tak cuma meliput, tetapi juga memanen dan menganalisis data.

Kualitas dan larisnya berita pada masa depan tak cuma bergantung pada kemampuan wartawan mengejar narasumber dan mendapatkan kutipan nendang, tetapi juga kejelian membaca data dan kemahiran menggunakan komputer dengan tools pintarnya untuk mendapatkan fakta wow dari data.

Namun, perkembangan itu hanya akan ada jika jurnalisme itu masih eksis. Dan Fagin, profesor jurnalisme di New York University, mengungkapkan betapa jurnalisme, bahkan di Amerika Serikat, baik cetak, online, maupun televisi, mengalami kemunduran.

Era digital yang memunculkan media online berikut perubahan budaya masyarakat dalam mengonsumsi berita memengaruhi artikel-artikel media yang menurut Fagin kini “banyak sekali yang sangat buruk hanya untuk mengejar hits”.

Fagin tak sepenuhnya menyalahkan upaya mengejar hits, tetapi sangat penting bagi media untuk berinvestasi dalam jurnalisme yang sebenarnya. Dia mencontohkan apa yang dilakukan oleh Buzzfeed.

“Anda mungkin menjumpai artikel-artikel yang sangat crappy di Buzzfeed dan hitsnya besar serta viral. Tetapi, mereka sekarang juga berinvestasi pada jurnalisme,” ujar Fagin kepada Kompas.com.

Apakah media-media online harus meniru langkah Buzzfeed, mengejar hits untuk mendapatkan uang sehingga bisa berinvestasi pada jurnalisme? Fagin mengatakan, “Ini bukan jawaban yang terbaik, tetapi bisa jadi memang harus seperti itu.”

Kemunduran media cetak yang terjadi di banyak negara, kata Fagin, seharusnya tidak terjadi di Indonesia.

“Literasi di Indonesia tumbuh dan Indonesia punya demokrasi yang masih muda. Seharusnya media cetak di Indonesia juga tumbuh seperti di India,” katanya.

Namun, jika memang mundur, Fagin mengungkapkan, “Sebaiknya perhatian bukan pada melestarikan satu platform jurnalisme itu, tetapi pada jurnalisme itu sendiri.”

Konferensi wartawan lain sains, Kavli Symposium on the Future of Science Journalism I di Chicago pada Februari 2014 lalu, membahas banyak hal tentang perkembangan jurnalisme.

Pembahasan tidak hanya berkutat pada kualitas berita, tetapi juga sampai pada model bisnis media sehingga bisa berkelanjutan.

Sudahkah stakeholder jurnalisme di Indonesia membicarakan hal-hal yang beyond konten?

********

Penulis: Yunanto Wiji Utomo
Editor: Tri Wahono/Kompas.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here