Agus M. Irkham,
Pegiat Literasi
Garut News ( Sabtu, 17/05 – 2014 ).

Kita perlu memiliki statistik perbukuan Indonesia sepanjang 2013.
Berapa jumlah judul buku baru yang diterbitkan?
Berapa jumlah total buku yang beredar?
Berapa total volume industri penerbit buku?
Berapa jumlah buku pelajaran SD, SMP, dan SMA yang diperlukan secara nasional?
Berapa jumlah penerbit dan toko buku?
Berapa besar angka Book Production Consumption (BPC) kita?
BPC menjadi alat ukur untuk mengetahui seberapa besar persentase pengeluaran suatu masyarakat (bangsa) yang digunakan untuk membeli buku.
Melalui BPC, kita jadi tahu harga buku yang berlaku di suatu negara lebih mahal atau sebaliknya dibanding harga buku di negara lain.
Jawaban atas berderet pertanyaan tersebut, sejauh pengamatan saya, tidak ada.
Baik jawaban kira-kira, apalagi jawaban pasti.
Sebuah paradoks tersendiri.
Saat kita menyusuri toko buku, deretan rak buku banyak memajang buku berisi tentang metodologi penelitian ataupun publikasi hasil penelitian.
Tapi belum ada penelitian khusus tentang statistik perbukuan kita paling mutakhir yang merupakan input untuk memotret perkembangan dunia industri perbukuan di Tanah Air.
Padahal industri perbukuan ini menjadi rahim bagi sosialisasi ilmu, pengetahuan, dan hasil penelitian.
Produk industri perbukuan justru hampir-hampir tidak pernah diteliti.
Ada semacam pengabaian akademik dalam gerak langkah bertumbuhnya industri perbukuan kita.
Penelitian yang paling sederhana pun tidak pernah kita lakukan.
Misalnya, melihat kecenderungan atau tren buku tiap tahun, penelitian tentang minat baca yang kita lakukan sendiri, bukannya merujuk pada penelitian lembaga asing yang kemudian kita kutip sekadar untuk semakin menegaskan bahwa minat baca masyarakat kita menempati nomor sepatu.
Perayaan Hari Buku Nasional setiap 17 Mei pun tidak mampu kita jadikan momentum untuk melahirkan gagasan melakukan riset yang mendalam tentang perkembangan industri perbukuan kita.
Padahal, riset tersebut dapat menjadi rujukan, input, dan peta jalan bagi seluruh stakeholder perbukuan di Indonesia.
Baik dari penulis, penerjemah, editor, penerbit, agen, distributor, penyedia kertas, toko buku, maupun pemerintah.
Riset industri perbukuan yang terakhir saya baca dilakukan Teddy Surianto pada 1995 berjudul “Potret Distribusi Buku di Indonesia” yang terhimpun dalam buku kumpulan esai berjudul Buku dalam Indonesia Baru (Yayasan Obor Indonesia, 1999, yang disunting Alfons Taryadi).
Dalam riset itu tergambar dengan jelas kondisi industri perbukuan di Indonesia.
Deretan pertanyaan pada awal tulisan ini terjawab semua.
Tak terkecuali angka PBC kita yang terjun bebas ke angka 0,144 persen.
Artinya, kita harus membayar 10 kali lipat lebih mahal ketimbang masyarakat konsumen buku di negara maju.
Setelah Teddy Surianto, belum ada lagi riset mendalam mengenai wajah industri perbukuan kita hingga hampir dua dekade sekarang ini.
Ketiadaan riset itu juga barangkali yang menyebabkan RUU Perbukuan Nasional yang drafnya sudah ada sejak Juli 2006 hingga kini belum kunjung disahkan menjadi undang-undang.
Layaknya hendak membuat peraturan terhadap sesuatu yang kita sendiri tidak tahu makhluk seperti apa yang akan kita atur itu.
Jadilah kita bak saat berjalan menyalakan lilin guna menerangi langkah, mata masih terbebat kain tebal.
*******
Kolom/Artikel : Tempo.co