Kamis 20 September 2018 10:51 WIB
Red: Muhammad Subarkah
“Snouck Hurgronje adalah simbol agen rahasia di bidang agama yang legendaris”
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Sebuah nama pada zaman kolonial Belanda, menjelang kampanye pilpres kini mendadak menjadi sangat terkenal Apalagi bagi kalangan umat Islam setelah ribut dan berdebat soal definisi apa ulama.
Ada pihak yang menggariskan bahwa ulama adalah orang berilmu tak sebatas ilmu agama. Ada juga pihak yang mensyarakatkan secara ketat bahwa ulama itu harus orang yang paham agama, bahkan ada yang lebih ‘rigid’ lagi harus punya pesantren.
Maka kemudian berhembuslah ujaran: Kalau dasarnya hanya penguasaan ilmu, Snouck Hurgronje pun layak disebut ulama.
Atas polemik ini, maka ingatan tiba-tiba teringat pada tulisan dari seorang jurnalis senior, Setyardi. Beberapa waktu silam dia pernah menulis secara ‘ciamik’ soal sosok Snouck Hurgronye. Isi tulisannya begini:
Ilmu pengetahuan tak selalu sejalan dengan kesejatian. Tak semua orang berilmu pasti berniat mencapai maqam kebenaran hakiki dalam kehidupannya. Namun, ada juga bahkan cukup banyak, orang yang serius mencari ilmu dengan tujuan duniawi semata.
Malahan sudah yang menjalankan praktik ada yang untuk dijadikan senjata menghancurkan lawan politik. Barangkali itulah yang saya pahami tentang Snouck Hurgronje [1857 – 1936].
Snouck Hurgronje adalah intelektual Belanda, yang keluarga besarnya berdarah Yahudi. Tapi kemudian mereka berasimilasi, dan menjadi Protestan yang taat. Ayahnya, Christian de Visser, seorang Pendeta.
Sedangkan kakek dari pihak Ibunya, DS. J. Scharp, adalah penginjil di Rotterdam yang mengarang “Korte schets over Mohammed en de Mohammedanen handleiding voor de kwekelingen van het Nederlanche zendelinggenootscap” — Sketsa Tentang Muhammad dan Pengikut Muhammad, Buku Pegangan Wajib Para Penginjil Belanda.
Snouck Hurgronje adalah simbol agen rahasia di bidang agama yang legendaris. Dia mempelajari Islam secara serius, untuk menjalankan misi rahasia dari Pemerintah Belanda. Agar bisa masuk ke Tanah Suci Makkah, pada 16 Januari 1885, dia mengucapkan syahadat di depan Hakim Agama di Kota Jeddah.
Dia pun berganti nama menjadi “Abdul Ghafar”. Tapi itu muslihat belaka. Pada tanggal yang sama, dia mengirim surat ke sahabatnya, Gold Ziher, Teolog Hongaria:
“Ich habe einen einfachen weg gefunden, der mir Insha’ Allah die thore der H stadt entschliessen wird. Ganz ohne ihzaar oel Islam geht dast naturlich nich” — saya telah menemukan pintu gerbang kota suci, Mekkah, itu.
Tanpa sikap ihzarul Islam, berpenampilan atau berpura-pura menjadi Islam, saya tak bisa masuk ke sana. [Surat ini sekarang disimpan di Akademi Ilmu Pengetahuan di Budapest, Hongaria].
Setelah masuk ke Kota Suci Makkah, berguru pada beberapa ulama, dan bergaul dengan banyak tokoh dari Hindia Belanda [Nusantara], yang tengah menunaikan ibadah haji, Snouck Hurgronje membuat laporan dan saran untuk Pemerintah Kolonial Belanda.
Sebab, Belanda memahami bahwa kesadaran “jihad” menjadi landasan utama kaum pribumi melawan Penjajah Belanda.
Dan salah satu keberhasilan Snouck adalah melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh.
Hal ini secara khusus diminta Pemerintah kolonial Belanda karena kewalahan menghadapi militansi pejuang Aceh. Saran Snouck soal Aceh dibuat dalam tulisan panjang berjudul ‘Atjeh Verslag’, yang belakangan sebagian tulisan diterbitkan menjadi buku ‘De Atjeher’.
Dalam laporan itu terungkap bahwa Snouck secara prinsip meminta Belanda mengubah strategi perang kontra gerilyawan. Snouck berpendapat politik pecah-belah [devide et impera] justru akan lebih efektif untuk menaklukan Aceh.
Barangkali inilah yang dimaksud Julien Benda [1867 – 1956], filsuf Prancis yang keren itu, dalam karyanya “La Trahison des Clercs” sebagai Penghianatan Kaum Cendekia!
Memang pada sisi lain ada, ada peninggalan Hurgronje yang sampai kini masih lestari. Hal itu adalah sikap untuk memisahkan kehidupan Islam hanya sekedar sisi ajaran agama saja (di barat dikenal sebagai sekulerisme).
Lewat pikiran dia pada akhir tahun 1800-an ada nasihat yang legendaris kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda: Kalau sekedar ibadah ajaran Islam tak jadi soal. Tapi kalau sudah menyangkut urusan di luar itu, agama ini di bawa-bawa ke soal politik, maka harus diberangus.
Nasihat Snouck Hurgronye dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Maka tidak heran kegiatan para tokoh dan kalangan umat Islam kala itu di awasi dengan ketat. Sikap umat Islam yang sudah lama melakukan ‘uzlah’ menjadi kian subur. Ibadah haji dilakukan sensor. Mereka yang pergi dan pulang haji di tes apakah dia layak untuk menunaikan ibadah itu ke tanah suci.
Nasihat Hurgronye ini cespleng untuk menjinakan perlawanan umat Islam di Hindia Belanda. Salah satu hasilnya adalah keberhasilan Hindia Belanda menguasai Aceh setelah melalui perlawanan yang panjang dan berdarah.
Bahkan saking hebatnya pengaruh Snouck, pikirannya kemudan menjelma menjadi kebijakan kolonial yang lain, misalnya memaksa mendirikan rumah sakit jiwa di Aceh karena menganggap tak waras adanya sikap dan keberanian orang Aceh di dalam melakukan perlawanan terhadap kolonial.
Untuk soal pemikiran Snouck Hurgonje ini pun ada tulisan dari pakar sufisme dan Guru Besar Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM. Dia mengatakan, seruan sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai “antipolitisasi masjid” boleh jadi diartikan oleh sekelompok orang Islam sebagai seruan “larangan berpolitik bagi orang Islam ala zaman kolonial.
Mengapa? Ini karena masjid memang bukan sekadar rumah ibadah bagi orang Islam, tetapi juga tempat bermusyawarah dan bermufakat membicarakan berbagai persoalan yang dihadapi umat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
“Di dalam masjid juga termasuk membicarakan masalah ekonomi dan politik. Pemerintah jajahan Belanda tempo dulu juga sudah melarang politisasi masjid. Dengan mengikuti arah Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda yang hanya mengizinkan eksistensi masjid dan kaum Muslim itu hanya untuk soal ritual dan ibadah, atau ada dikotomi antara Islam ritual dan Islam ibadah,” kata Abdul Hadi.
Namun, lanjut Abdul Hadi, dikotomi Snouck Hurgronje setelah kemerdekaan memang sempat ditinggalkan. Pada tahun 1960-an misalnya, ketika Presiden Sukarno memerlukan dukungan umat Islam dalam konfrontasi melawan Malaysia, dia menghilangkan dikotomi itu. Oleh Bung Karno dinyatakan ulama (dan juga Umat Islam di masjid) didorong mengeluarkan fatwa “wajib” berkonfrontasi dengan Malaysia.
“Jadi kepada mereka yang bergabung dengan gerakan antipolitisasi masjid hendaklah ingat, bahwa orang Islam Indonesia adalah penduduk terbanyak di negeri ini dan jangan suka melarang-larang mereka menjalani kehidupan mereka mengikuti ajaran agama mereka yang mereka anggap mulia. Sebab, semakin masjid ditakuti sebagai tempat yang baik membicarakan politik, maka makin banyak orang pergi ke masjid,” ujarnya.
Bukan hanya itu, lanjut Abdul Hadi, sampai hari ini tidak ada aturan hukum dan perundangan yang melarang umat Islam bicara politik, ekonomi, busana, hukum, kebudayaan dan lainnya di masjid, di rumah atau di tempat umum lainnya. Juga hal yang sama berlaku bagi tempat ibadah umat beragama lainnya.
“Misalnya apa di gereja juga dilarang? Saya pernah bertanya. Tetapi soal ini tak ada jawaban. Sahabat saya pernah tanya sama cendikiawan Kristen, Victor Tanja. Jawabnya tidak. Tapi beliau sudah almarhum,” kata Abdul hadi.
Harus diakui pula, lanjut Abdul Hadi, tidak ada pemisahan dan pelarangan di masjid untuk bicara berbagai hal, termasuk sosial, ekonomi, hingga politik, kemudian telah terjadi pada tahun 1970-an. Pada pemilu 1977 makanya di Daerah Istimewa Aceh, DKI Jakarta, dan Pulau Madura, PPP menang telak. Namun, sekarang mudah dibuat ‘mlempem’,” ungkapnya.
Khusus mengenai kebijakan dan pandangan dikotomi ala Snouck Hurgronje juga terbukti telah berpengaruh juga pada kelompok sosial keagamaan yang disebut kaum ‘priyayi abangan’ di Indonesia.
Pemikiran ini merasuk ke dalam pemikiran tokoh seperti Cipto Mangunkusumo. Dan pemikiran dikotomi ala Snouck itu berlawanan dengan sosok pemikiran ‘santri priyayi’ misalnya ala HOS Cokroaminoto, guru Bung Karno.
Maka akibat pemikiran Hurgonje, kata Abdul Hadi, maka memunculkan sikap phobia terhadap Islam ini di Hindia Belanda. Padangan ini juga mengental karena terkait soal hubungan kekuasaan.
Maka mau tak mau terkait soal kuantitas dari elemen masyarakat. Padahal sejatinya, soal sedikit banyaknya manusia bukan sekadar kuantitas saja, tapi kualitas.
‘’Makanya kalau kita ikuti cara berpikir dan pandangan ala Snouck Hurgronje, lagi-lagi kita terjebak pada hal yang serba relatif. Padahal obyektifnya jelas : Saya menentang slogan antipolitisasi masjid yang dikumandangkan kelompok yang tak berkenan dengan politik orang Islam. Apa salah?,” tegasnya.
********
Republika.co.id