Garut News ( Senin, 01/12 – 2014 ).

Bebasnya Pollycarpus Budihari Priyanto seperti mengiris luka lama bangsa ini: kematian aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib.
Rasa keadilan belum dipenuhi kendati Polly sudah dibui. Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla mesti membongkar dalang pembunuhan keji ini.
Hukuman Polly yang hanya 14 tahun penjara jelas tidak setimpal dengan perbuatannya. Itu pun, ia cuma menjalani sekitar dua pertiga hukuman, lalu menikmati fasilitas bebas bersyarat.
Padahal peran Polly amat penting. Dalam pengadilan, dia didakwa menyusupkan racun arsenik ke makanan Munir di pesawat Garuda.
Racun inilah yang membunuh sang aktivis pada 7 September 2004, ketika ia dalam penerbangan menuju Belanda untuk menempuh studi hukum.
Sulit memersoalkan pembebasan bersyarat Polly karena ia dijerat dengan pembunuhan biasa, bukan pelanggaran HAM berat.
Artinya, terpidana tidak bisa dikenai Peraturan Pemerintah tentang Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat.
Aturan pengetatan ini hanya berlaku bagi narapidana kasus korupsi, pelanggaran HAM berat, narkotik, dan terorisme.
Kekacauan kasus Polly terletak pada proses hukum sebelumnya. Mahkamah Agung seharusnya tidak mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan Polly-putusan yang mendiskon hukumannya menjadi hanya 14 tahun penjara.
Putusan tahun lalu ini aneh karena, sebelumnya, MA telah menghukum Polly 20 tahun penjara dalam peninjauan kembali yang diajukan kejaksaan.
Demi tegaknya keadilan, Presiden Joko Widodo harus membuka lagi kasus Munir. Tentu bukan dengan mengadili Polly kembali, melainkan mengusut keterlibatan para bekas petinggi Badan Intelijen Negara. Penyelidikan polisi bisa dimulai dari mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono, yang sampai sekarang belum tersentuh.
Ia bahkan tidak mau dimintai keterangan oleh tim pencari fakta, yang dulu dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Temuan dari pengusutan baru kelak bisa pula dipakai sebagai novum untuk mengajukan peninjauan kembali kasus Muchdi Purwoprandjono.
Bekas Deputi Penggalangan Badan Intelijen Negara ini pernah menjadi terdakwa kasus Munir, tetapi lolos dari jerat hukum.
Pengadilan menyatakan ia tak terbukti terlibat. Padahal telah ada bukti 41 kali kontak telepon antara Pollycarpus dan telepon seluler yang diketahui milik Muchdi.
Pengusutan bisa juga dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisi ini seharusnya mengkaji apakah kasus Munir bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, lalu mengusulkan pembentukan pengadilan HAM.
Proses ini tak akan rumit karena pembunuhan Munir terjadi setelah Undang-Undang Pengadilan HAM diterbitkan.
Artinya, pembentukan pengadilan HAM tidak perlu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Cara apa pun yang dipilih untuk menuntaskan kasus Munir, peran pemerintah akan sangat penting. Di sinilah janji Presiden Joko Widodo menuntaskan pelanggaran HAM seperti kasus Munir ditagih.
Opini/Tempo.co