Garut News ( Kamis, 07/05 – 2015 ).

Perlambatan ekonomi seperti tampak dari data-data kuartal I tahun ini tak boleh dianggap remeh. Pemerintah kudu bersikap lebih realistis agar kebijakan dibuat tak berujung pada blunder lebih parah.
Angka-angka yang baru dikeluarkan Badan Pusat Statistik, dua hari lalu, menunjukkan ada beberapa target perlu dilihat kembali apakah masih masuk akal.
Mirip mesin diesel perlu pemanasan, ekonomi sedikit melambat memang biasa terjadi di awal tahun. Itu pula sebabnya para analis biasa menggunakan performa di kuartal kedua agar mendapatkan gambaran lebih baik untuk sepanjang tahun.
Yang tak biasa, lesunya ekonomi kali ini terjadi di sisi produksi maupun konsumsi.
Produksi pangan menurun akibat mundurnya periode tanam. Produksi minyak mentah dan batu bara juga tak mampu beranjak, sehingga industri kilang minyak pun tumbuh negatif. Industri manufaktur, biasanya diandalkan sebagai penyerap tenaga kerja, hanya tumbuh 3,87 persen.
Masalahnya, jika melihat catatan impor barang modal serta bahan baku/penolong yang ikut menurun, agak sulit berharap kinerja sektor ini membaik pada kuartal berikutnya.
Pada saat sama, dari sisi permintaan angkanya juga buruk. Harga dan permintaan akan komoditas ekspor kita masih bertahan di posisi rendah lantaran ekonomi di kawasan dan negara-negara mitra dagang utama belum sepenuhnya pulih.
Akan semakin berat membuka lapangan kerja baru bagi penganggur kini bertambah menjadi 7,45 juta jiwa.
Situasi ini secara teoretis bisa diatasi. Di antaranya jika pemerintah memberi tambahan stimulasi melalui belanja anggaran, biasanya disalurkan lewat proyek konstruksi dan infrastruktur atawa konsumsi pemerintah lainnya.
Tetapi, lagi-lagi, jalur ini kurang bisa dijadikan jalan keluar memadai sebab isi kantong pemerintah tak cukup tebal. Apalagi penerimaan pajak pada tiga bulan pertama tahun ini amat memprihatinkan. Sektor ini hanya mampu meraup 13,65 persen dari target di APBN Perubahan Rp1.296 triliun.
Pencapaian hasil pajak terburuk untuk kuartal I dalam lima tahun belakangan ini mencerminkan dua hal. Pertama, target ditetapkan terlalu tinggi. Kedua, kinerja aparat pajak belum maksimal.
Repotnya, menggenjot penarikan pajak dalam situasi ekonomi lesu seperti saat ini jelas bukan cara bijaksana. Bisa pula berisiko membuat investor keder.
Target pajak kelewat agresif itu perlu direvisi. Belanja berlebihan juga harus dipangkas. Pemerintah jangan memberi sinyal panik yang justru bisa memerburuk situasi. Pesimisme para pelaku usaha, yang terlihat dari turunnya indeks tendensi bisnis pada kuartal pertama ini, tak boleh dibiarkan berlaru-larut.
Debirokratisasi perizinan untuk memudahkan investasi, dan insentif serta keringanan pajak dijanjikan, kudu benar-benar dijalankan.
Terakhir, barangkali inilah waktunya bagi Presiden Joko Widodo untuk mengganti menteri-menteri ekonomi yang tak kompeten.***
*******
Opini Tempo.co