Garut News ( Senin, 23/03 – 2015 ).

Ditariknya kembali traktor tangan bantuan Presiden Joko Widodo di Ponorogo, Jawa Timur, semakin memperlihatkan lemahnya koordinasi dalam Kabinet Kerja.
Apa yang disampaikan Presiden beda dengan kondisi di lapangan. Jika terus berulang, hal ini bisa menjadi kendala dalam realisasi berbagai program publik.
Presiden Joko Widodo, saat menghadiri panen raya di Desa Jetis, Ponorogo, berjanji pemerintah akan memberikan bantuan sebanyak 3.000 traktor di Jawa Timur, 207 unit di antaranya untuk Ponorogo. Bantuan tersebut masuk program swasembada pangan yang ditargetkan tercapai pada 2017.
Hanya, seusai acara serah-terima, ratusan traktor yang diparkir di pinggir jalan itu kembali diangkut puluhan truk. Para petani yang berharap segera mendapatkan traktor tersebut hanya bisa bertanya-tanya.
Rupanya traktor bantuan itu bukan untuk langsung dibagikan, melainkan sekadar bukti bahwa barangnya benar ada.
Kejadian ini menjadi bahan gunjingan netizen di dunia maya. Bila hal sepele saja kurang terkoordinasi, bagaimana dengan program swasembada pangan yang melibatkan banyak unsur?
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengakui Presiden Jokowi, melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno, sempat meminta penjelasan ihwal kejadian tersebut. Semestinya hal itu tak perlu terjadi apabila program ini dirancang dengan matang.
Bukan hanya itu. Selain menimbulkan kekecewaan di kalangan petani, penarikan ini mengakibatkan pemborosan biaya. Membawa ratusan traktor tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Padahal pemerintah cukup membawa sejumlah traktor sebagai contoh yang akan dibagikan kepada kelompok tani.
Buruknya koordinasi antara menteri dan presiden juga terlihat ketika terjadi kenaikan harga beras. Presiden Jokowi sempat menyindir para menteri yang tidak melaporkan perkembangan harga beras dalam sidang kabinet. Presiden malah tahu pergerakan kenaikan itu dari timnya di Pasar Cipinang.
Tentu hal ini sangat disayangkan. Terlebih kualitas suatu keputusan, salah satunya, sangat ditentukan oleh alur koordinasi serta komunikasi yang terbuka dan rapi di jajaran kabinet.
Jika hal ini dibiarkan terjadi terus-menerus, bukan tak mungkin suatu saat akan muncul masalah bagi pemerintah Presiden Jokowi.
Buruknya koordinasi juga terlihat dalam kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia. Presiden serta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti begitu bersemangat akan ide penenggelaman. Sebaliknya, Jaksa Agung M. Prasetyo malah secara terbuka menolak cara tersebut.
Dalam banyak kesempatan, beberapa menteri juga tidak jarang bertolak belakang dalam memberikan pernyataan terkait dengan sebuah kebijakan. Jika terus terjadi, hal ini akan berdampak pada kualitas informasi yang disampaikan pemerintah.
Yang dikhawatirkan adalah kepercayaan publik terhadap pemerintah akan merosot.
Presiden Jokowi sudah sepatutnya mengoptimalkan fungsi kementerian koordinator dalam menjaga arus informasi dan kebijakan lintas kementerian.
Tujuannya agar informasi yang diterima Presiden tak salah, yang pada akhirnya akan menentukan kualitas kebijakan yang diambil.
********
Opini Tempo.co