06 Jan 2023, 03:30 WIB
“Manakala waktu sirna maka yang tinggal hanya penyesalan yang tiada berguna”
OLEH HASAN BASRI TANJUNG
Allah SWT memberikan karunia yang berbeda kepada setiap manusia, baik umur, ilmu, harta, anak dan istri, suami, ataupun lainnya. Akan tetapi, diberikan modal yang sama kepada siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, yakni waktu. Satu menit 60 detik, satu jam 60 menit, satu pekan tujuh hari, satu bulan 30 hari, dan satu tahun 365 hari.
Ketika karunia tersebut lenyap, masih mungkin dapat gantinya. Namun, jika waktu yang hilang, tidak mungkin diperoleh gantinya.
Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak pada hari esok. Namun, waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin kembali esok.” Artinya, manakala waktu sirna maka yang tinggal hanya penyesalan yang tiada berguna.
“Ketika karunia tersebut lenyap, masih mungkin dapat gantinya. Namun, jika waktu yang hilang, tidak mungkin diperoleh gantinya”
Pakar tafsir Prof Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur’an menguraikan bahwa dalam Alquran ada empat kata yang semakna dengan waktu. Pertama, ajal yang berarti waktu berakhirnya sesuatu, seperti usia manusia atau masyarakat (QS Yunus [10]: 49).
Kedua, dahr, yakni saat berkepanjangan yang dilalui dalam kehidupan dunia ini. Yang dimaksud di sini adalah sejak alam ini diciptakan sampai punah (QS al-Insan [76]: 1). Ketiga, waqt, yaitu batas akhir kesempatan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, seperti shalat (QS an-Nisa’ [4]: 103).
Keempat, ‘ashr, yakni menunjukkan waktu menjelang terbenam matahari atau masa pada saat manusia harus bekerja memeras keringat dan pikiran (QS al-‘Ashr [103]: 1-3).
Setidaknya ada lima tahapan masa yang dilalui. Pertama, proses penciptaan. Alam pertama yang dilalui manusia adalah alam ruh. Kemudian, alam kandungan dan mengalami proses yang terikat waktu, mulai dari air mani menjadi segumpal darah, lalu segumpal daging dan tulang belulang dibungkus daging hingga menjadi makhluk berbentuk lain (QS al-Mukminun [23]: 14).
Proses satu tahap ke tahap berikutnya membutuhkan masa 40 hari. Pada usia janin 120 hari, diembuskan ruh dan ditetapkan empat perkara, yakni rezeki, ajal, sengsara, atau bahagia (HR Bukhari).
Janin dalam kandungan selama sembilan bulan dan disusui dua tahun (QS al-Baqarah [2]: 233). Lalu, ia beranjak kanak-kanak, remaja, dan baligh hingga berusia 40 tahun (QS al-Ahqaf [46]: 15). Ada yang pendek umurnya dan ada yang sampai lanjut usia (QS Fathir [35]: 11).
Kedua, pelaksanaan ibadah. Manusia diciptakan untuk mengemban tugas pengabdian (QS az-Zariyat [51): 56) dan kekhalifahan (QS al-Baqarah [2]: 30). Allah SWT telah mengatur bentuk dan waktu ibadah, seperti shalat (QS an-Nisa’ [4]: 103).
Zakat pun bergantung pada cukupnya waktu (haul), yakni setahun (HR Ahmad). Begitu juga puasa pada bulan Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 183). Ibadah haji mulai hari tarwiyah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, lalu ke Mina melontar jamrah hingga tawaf pada 8-13 Dzulhijah.
Demikian juga ibadah sunah sudah diatur waktunya oleh Nabi SAW. Jika ibadah tersebut tidak dikerjakan pada waktunya maka tidak sah (batal).
Ketiga, mencari penghidupan. Setelah dewasa dan berkeluarga, seseorang wajib mencari nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya. Agama mewajibkan seorang Muslim bekerja keras, cerdas, ikhlas, dan tuntas sebagai ibadah (QS at-Taubah [9]: 105).
Namun, bekerja pun ada waktunya, yakni siang hari dan malam untuk istirahat (QS an-Naba’ [78]: 10-11). Tidak boleh melampaui batas hingga lupa atau tak sempat beribadah, menikah, dan bersama keluarga. Sebaliknya, jangan karena asyik ibadah lalu tak mau beraktivitas.
Nabi SAW pernah menegur tiga sahabat yang ingin beribadah tapi mengabaikan amal sosial. Beliau bersabda, “Bukankah aku orang yang paling takwa kepada Allah, tetapi aku puasa dan berbuka, shalat dan tidur, serta menikah? Barang siapa yang membenci sunahku, berarti ia bukan dari umatku” (HR Bukhari).
Keempat, akhir kehidupan. Keberadaan manusia di dunia akan berakhir ketika ajal tiba (QS al-A’raf [7]: 43).
Allah SWT mengurai perjalanan manusia, “Adam diciptakan dari tanah, kemudian (kamu sebagai keturunannya) diciptakan dari setetes mani, lalu segumpal darah, lalu segumpal daging, baik kejadiannya sempurna maupun tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu (tanda kekuasaan Kami). Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. Kemudian, Kami mengeluarkanmu sebagai bayi, lalu (Kami memeliharamu) hingga kamu mencapai usia dewasa. Di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) yang dikembalikan ke umur yang sangat tua sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah diketahuinya (pikun) …” (QS al-Hajj [22]: 5).
Kelima, hari akhir yang abadi. Setelah manusia meninggal, lalu masuk alam barzakh (kubur) sebagai tempat transit menuju negeri akhirat. Bagi orang beriman, alam barzakh akan terasa singkat bagaikan malam pengantin. Namun, bagi orang kafir, masanya akan terasa lama karena mereka tersiksa sampai hari kiamat.
Oleh karena itu, kita diajarkan untuk berlindung dari azab kubur (HR Ahmad). Ketika hari kiamat datang, manusia dibangkitkan dari alam kubur untuk dihisab, lalu menuju kehidupan yang abadi selamanya.
Manusia akan tinggal di dua tempat. Salah satunya ialah surga yang penuh kenikmatan untuk orang beriman (QS an-Nisa’ [4]:122). Sementara itu, neraka yang penuh derita menjadi tempat bagi orang kafir (QS al-Baqarah [2]: 217).
Akhirnya, teringat syair lagu Melayu yang menyentuh hati. “Hidup ini bagai lampu dinding, yang dinyalakan di malam hari. Apabila minyak sudah kering, ia kan pasti padam sendiri”.
Semoga, hidup kita berakhir dalam keadaan beriman dan beramal saleh (husnul khatimah), bukan dalam kemaksiatan (su’ul khatimah). Kiranya, dikaruniai kematian yang indah (al-maut al-jamilah), yakni ketika shalat, sujud, mengaji, atau berdakwah.
Aamiin. Allahu a’lam bish-shawab.
*****
Republika.co.id/Ilustrasi Fotografer : Abah John.