Selingkuh Media dan Survei Politik

Selingkuh Media dan Survei Politik

715
0
SHARE

Garut News, ( Kamis, 24/10 ).

Ilustrasi. (Ist).
Ilustrasi. (Ist).

Manipulasi opini publik lewat survei politik semakin menunjukkan gejala tak sehat.

Kian mendekati pelaksanaan pemilu, semakin banyak lembaga survei memakai trik curang memengaruhi khalayak memilih kandidat tertentu.

Lembaga survei itu “berselingkuh” dengan media milik sang kandidat untuk mengatrol popularitas.

Praktek tersebut, sungguh menodai demokrasi.

Mereka membohongi masyarakat, terutama kelompok awam tak bisa membedakan mana lembaga polling kredibel, dan mana tidak.

Mendekati Pemilu 2014, cara-cara licik itu marak lagi.

Banyak politikus membeli popularitas lewat survei.

Akibatnya, kini bertaburan survei politik berkualitas ala kadarnya.

Survei dilakukan Lingkaran Survei Indonesia baru-baru ini merupakan contoh.

Survei ini, secara aneh, menobatkan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden terpopuler kedua setelah Megawati Soekarnoputri.

Menurut lembaga dikomandani Denny J.A. itu, Aburizal mengantongi dukungan 28,6 persen dari total responden.

Hasil survei ini, mengundang pertanyaan.

Lantaran, enam lembaga survei lainnya-seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, dan Indobarometer-menempatkan Joko Widodo sebagai kandidat terpopuler, disusul Prabowo Subianto.

Menurut survei-survei itu, justru popularitas Aburizal berada di urutan buncit.

Tak peduli pada keanehannya, hasil survei itu malahan digunakan bahan kampanye besar-besaran lewat stasiun-stasiun televisi, dan portal berita milik sang kandidat.

Tak mengherankan, terdapat kesan media-media itu diorkestrasikan menunjukkan dukungannya terhadap sang calon presiden.

Media-media tersebut, seperti menutupi data, dalam survei, Aburizal menjadi terpopuler lantaran nama Jokowi dan Prabowo tak dimasukkan ke daftar pertanyaan.

Dalih LSI, “Jokowi dan Prabowo hanya presiden wacana.”

Kedua orang itu dianggap belum mencalonkan diri atawa memenuhi persyaratan maju menjadi kandidat presiden.

“Selingkuh” antara lembaga survei dan media serta kandidat juga terlihat pada survei-survei lain.

Survei dilakukan Lembaga Pemilih Indonesia, salah satu contoh.

LPI menjadikan Hary Tanoesoedibjo sebagai calon presiden paling berkualitas setelah Megawati.

Hasil survei mencengangkan ini, menjadi isu utama di stasiun-stasiun televisi, koran, dan situs online milik Hary.

Komisi Penyiaran dan Dewan Pers seharusnya tak membiarkan persekongkolan seperti ini terus berlangsung.

Apalagi apabila stasiun televisi mereka menggunakan frekuensi milik publik, semestinya tak digunakan kepentingan sendiri.

Lembaga-lembaga survei kredibel semestinya juga tak boleh hanya berdiam diri.

Jika praktek kotor seperti itu terus dibiarkan, kepercayaan publik pada lembaga survei bakal rontok.

Mereka juga menanggung rugi.

Mencegah kerusakan lebih besar, seharusnya lembaga-lembaga survei ini membentuk asosiasi atawa semacam dewan pengawas mengawasi kode etik.

Apabila terdapat lembaga survei nakal, menerapkan metode sembarangan, organisasi inilah menyemprit dan menjatuhkan sanksi.

Mereka pula akan meneliti validitas survei-survei yang ada.

Hanya dengan cara itulah survei-survei politik bisa dipercaya, dan menyumbang kebaikan bagi demokrasi. (*)

****** Opini/Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY