Sekali Lagi, Museum yang Sepi

Sekali Lagi, Museum yang Sepi

706
0
SHARE

Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat.

Garut News ( Jum’at, 23/10 – 2015 ).

Di Bundaran Simpang Lima Garut, Jawa Barat, Ada Museum R.A.A Adiwidjaja.
Di Bundaran Simpang Lima Garut, Jawa Barat, Ada Museum R.A.A Adiwidjaja.

Pada akhir September lalu, Museum Basoeki Abdullah memperingati 100 tahun pelukis Basoeki Abdullah di Museum Nasional. Museum Basoeki Abdullah juga menjalin kerja sama dengan enam museum lain guna meminjam karya-karya sang pelukis dari koleksi mereka untuk dipamerkan.

Rekannya itu adalah Galeri Nasional Indonesia, Museum Seni, Museum Kebangkitan Nasional, Cemara 6 Galeri Museum, Museum Ciputra, dan Museum Rumah Sakit Kesehatan Jiwa Lawang.

Peringatan tersebut ditandai dengan seminar “Museum di Tengah Kehidupan Kota Jakarta”, yang menyoroti Museum Basoeki Abdullah. Ada ironi di sini. Pada pekan itu, pemirsa televisi melihat lokasi upacara peringatan tragedi nasional 30 September di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Di sana terdapat dua museum: Museum Pengkhianatan PKI dan Museum Paseban. Keduanya terbuka bagi siapa pun yang tertarik untuk melihat propaganda Orde Baru. Tapi masyarakat tampaknya nyaris tidak tertarik melihat koleksi kedua repositori tersebut.

Jumlah pengunjung museum di sini memang kecil. Museum Nasional, yang namanya disebut ratusan kali tiap bus Transjakarta stop di halte di depan gedung yang dibuka pada 1778 itu, pun tidak menyedot banyak pengunjung.

Dani Wigatna dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, panelis dalam seminar itu, mengatakan, sampai 2010, jumlah pengunjung per tahun di 278 museum di seluruh Indonesia mencapai 2,5 juta orang atau 24 orang sehari—kurang dari 1 persen jumlah penduduk negeri ini.

Pada 2014, angka itu membaik: 12,5 juta pengunjung setahun dan jumlah museum bertambah menjadi 387 buah. Ini berarti jumlah pengunjungnya lumayan, mencapai 3.000-an orang per hari. Tapi tentu ini masih jauh dibandingkan dengan pengunjung Museum Louvre di Paris, yang 24 ribu orang per hari.

Mengapa masyarakat Indonesia enggan mengunjungi Museum Nasional, yang sudah ada di tengah kita hampir 250 tahun? Atau haruskah kita melihatnya dengan cara lain?

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015, museum bertugas mengumpulkan dan mengkomunikasikan koleksinya ke masyarakat. Salah satu tolok ukur keberhasilan adalah banyaknya pengunjung.

Menurut Dani, museum dan masyarakat saling dukung dan membutuhkan, karena “masyarakat adalah bagian dari urusan museum”.

Tapi adakah upaya serius permuseuman untuk memancing minat masyarakat yang jadi “urusan”-nya itu? Baik kita tengok ke bidang lain: konon kita bangsa perokok terbesar di dunia. Kendati demikian, tiap hari perusahaan rokok merasa perlu beriklan dan melakukan komunikasi massa demi mempertahankan jumlah masif tersebut.

Perlukah permuseuman mengambil pelajaran dari itu, karena sudah telanjur ada 387 museum yang tidak disambangi orang dalam jumlah berarti?.

*******

Kolom/Artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY