Sedikitnya 3.467 Hektare Sawah Garut Diterjang Kekeringan

0
41 views
Dampak Kekeringan di Wilayah Garut Utara.
Kekeringan Meranggas Sawah Wilayah Selatan Kabupaten Garut.

“Petani Telan Kerugian Rp94,832 Miliar Lebih” 

Garut News ( Rabu, 27/11 – 2019 ).

Areal sawah Kabupaten Garut diterjang kekeringan kemarau panjang 2019 mencapai 3.467 hektare. Tersebar pada 280 desa/kelurahan di 41 kecamatan, 2.199 hektare di antaranya gagal panen/puso, 508 hektare kekeringan berat, 365 hektare kekeringan sedang, dan 395 hektare lainnya kekeringan ringan. Juga terdapat 234 hektare sawah terancam kekeringan, hingga 15 November 2019.

Sedangkan yang mengalami kekeringan terparah di wilayah Kecamatan Malangbong mencapai 359 hektare, disusul Kecamatan Cibatu 341 hektare, dan Kecamatan Singajaya 319 hektare.

“Jika dua pekan ke depan tak ada hujan, kondisi lahan sawah terancam tentu menjadi kekeringan ringan, kekeringan ringan menjadi sedang, dan seterusnya. Namun melihat kondisi sekarang, hujan mulai agak sering turun, meski intensitasnya tak sama, mudah-mudahan kondisi sawah ini terselamatkan,” imbuh Sekretaris Dinas Pertanian Garut Haeruman didampingi Kepala Seksi Serelia Endang Junaedi, Rabu (27/11-2019).

Dikatakan Endang, kekeringan menerjang 3.467 hektare sawah itu mengakibatkan petani kehilangan produksi padi mencapai 17.242.248 kilogram. Jika dikonversikan maka petani didera kerugian ekonomi mencapai Rp94.832.364.275. Dengan asumsi harga gabah kering giling (GKG) Rp5.500 per kilogram.

Memasuki musim hujan, ungkap Endang, pihaknya menyampaikan himbauan ke jajaran Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Dinas Pertanian agar melakukan perbaikan saluran/gorong-gorong supaya tak mampat hingga menimbulkan banjir ketika hujan turun.

Juga meminta para petani mewaspadai, dan mendeteksi dini kemungkinan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) biasa berkembang di musim hujan, seperti hama wereng, dan tikus.

“Kita juga melakukan sosialisasi agar dilakukan gerakan pengendalian OPT ke 21 kecamatan di bagian utara, dan tengah Kabupaten Garut pada Oktober lalu. Sedangkan 21 kecamatan lainnya di bagian selatan, kita lakukan selama Nopember ini,” katanya.

Warga Budidayakan Jeruk Garut di Kampung Panawuan Sukajaya Tarogong Kidul.

“Sulit Dongkrak Populasi Jeruk Garut”

Dari Garut dilaporkan pula, meski bisa menyediakan bibit unggul. Namun Pemkab setempat hingga kini masih kesulitan mendongkrak populasi tanaman jeruk Garut. Padahal, jeruk jenis keprok itu sempat populer dan menjadi komoditas andalan petani Kota Dodol.

Pada 2011 silam, Pemkab sempat menargetkan penanaman satu juta pohon jeruk namun tak pernah tercapai. Bahkan, pemerintah pusat sebelumnya pun sempat membentuk tim kelompok kerja nasional jeruk. Targetnya, selama 2006-2011 pohon jeruk itu ditanam empat juta pohon.

Komoditi ini juga ditetapkan sebagai varietas unggulan nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 760/KPTS.240/6/99 tertanggal 22 Juni 1999.

Dinas Pertanian Kabupaten Garut mencatat, dari populasi tanaman jeruk 678.701 pohon pada 2018 itu, hanya sekitar 20-30% jeruk keprok garut. Selebihnya didominasi jenis jeruk siam.

Pada era sebelum 1950-an, diperkirakan populasi pohon jeruk keprok Garut mencapai jutaan pohon. Saat itu, selain ditanam dalam satu hamparan areal kebun pohon jeruk pun mudah dijumpai sebagai tanaman pekarangan rumah.

Pada 1987, populasinya sempat mencapai 1,3 juta pohon pada lahan 2.600 hektare dengan jumlah produksi sekitar 26.000 ton.

Namun, pada 1964 populasi jeruk keprok Garut mulai melorot tajam. Varietas pohon tersebut pun dinyatakan nyaris punah lantaran serangan penyakit terutama citrus vein phloem degeneration (CPVD). Kondisi ini diperparah keadaan bentang alam pasca-letusan Gunungapi Galunggung 1982.

Pohon jeruk Garut kini tak lagi menghiasi pekarangan rumah penduduk maupun perkantoran. Keberadaannya dilibas pamor jenis tanaman buah lain seperti mangga.

Pada 1992, dari jutaan itu populasi pohon jeruk Garut hanya 52.000 pohon berproduksi hanya sekitar 520 ton.

Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Rahmat Jatnika katakan, petani lebih memilih jenis siam sebab pohonnya cepat berbuah. Setidaknya, pada umur 2,5 tahun tanaman itu mulai belajar berbuah dan produktivitas buahnya pun relatif lebih tinggi. Sedangkan, jeruk Garut membutuhkan waktu 3-3,5 tahun untuk berbuah pertama kali.

“Kondisinya, petani kan membutuhkan perputaran modal lebih cepat. Sedangkan, membudidayakan jeruk Garut perlu waktu relatif lebih lama dan biaya lebih tinggi. Padahal, sebenarnya jika dilihat dari nilai ekonomi, dan permintaan konsumennya jeruk Garut jauh lebih prospektif,” kata Rahmat, Rabu.

Sejauh ini, Rahmat menuturkan perbanyakan bibit jeruk Garut hanya dilakukan dengan kultur jaringan dari mata tunas dari pohon induk dititipkan di Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika di Tlekung Jawa Timur.

Mata tempel dengan batang bawah biasanya red lemon tersebut dipelihara selama enam bulan di Blok Penggandaan Mata Tempel (BPMT) untuk diperbanyak. Ujungnya, bibit-bibit tersebut disebar ke penangkar.

Dia mengakui, penyediaan jumlah bibit jeruk Garut hingga kini masih relatif terbatas.

“Di sisi kebutuhan, para penangkar bibit terhadap mata tempel jeruk Garut sekitar 200.000 per tahun. Tetapi, kebutuhan itu tak terpenuhi karena populasi dan produksinya masih sedikit. Maka, nggak aneh apabila buah jeruk Garut sulit ditemukan di pasaran. Buah jeruk Garut masih di pohonnya habis dipesan konsumen,” ungkap Rahmat.

Dia mengemukakan, budidaya tanaman jeruk itu dikembangkan pada 14 kecamatan se-Kabupaten Garut. Terutama di Kecamatan Wanaraja, Karangpawitan, Sucinaraja, Samarang, dan Bayongbong.

********

(Abisyamil, JDH/Fotografer : John Doddy Hidayat).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here