Saya dan Reuni 212

0
57 views
Asma Nadia. (Foto: Daan Yahya/Republika).

Sabtu 08 Dec 2018 06:21 WIB
Red: Elba Damhuri

Asma Nadia. (Foto: Daan Yahya/Republika).

“Setidaknya masih ada tokoh dan juga media yang bisa menyikapi reuni 212”

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia

Ketika Aksi 212 pertama kali berlangsung 2016 lalu, saya sedang tidak berada di Tanah Air sehingga tidak menghadirinya. Beruntung, dalam Reuni 212 tahun ini saya berkesempatan meramaikan dan merasakan aura positif yang begitu luar biasa.

Buat saya dan mungkin ratusan ribu orang lain, istilah reuni mungkin kurang tepat. Dengan asumsi jumlah peserta tahun ini lebih besar, bahkan dari pertama kali diadakan, bisa dipastikan banyak peserta yang bukan alumni. Barangkali lebih tepat jika kita menyebutnya sebuah peringatan.

Lantas muncul pertanyaan, mengapa harus diingat? Apa yang diperingati?

Dengan mata kepala sendiri, saya melihat bagaimana seorang ayah dan bunda membawa anak-anak mereka mengikuti aksi. Nyaris sepanjang perjalanan saya tidak menemukan anak yang rewel.

Saya sendiri tidak terlalu sepakat membawa anak kecil ke dalam kerumunan. Tapi, saya menghormati dan bisa mengerti ikhtiar para orang tua yang membawa anak mereka dengan semangat edukasi.

“Ini loh, Nak, umat Islam, kita bisa berkumpul jutaan orang, tapi dalam suasana damai.”

“Lihatlah, Nak, umat Islam. Sekalipun berkumpul tidak mengganggu.”

Mungkin itu yang ingin disampaikan kepada putra-putri mereka.

Semangat ini pula yang mungkin ingin dirasakan kembali oleh para alumnus dan juga peserta yang tidak menghadiri aksi pada tahun-tahun sebelumnya.

Hari itu saya menjadi saksi hidup yang ikut merasakan bagaimana jutaan orang berkumpul, tapi tidak merasakan terdorong ke sana-kemari akibat desak-desakan. Massa yang terhenti ratusan mungkin kiloan meter jauh dari Monas tidak memaksakan diri merangsek ke pusat aksi.

Semua punya kesadaran untuk menjaga ketertiban. Bahkan, sepeda motor yang mengunci arus lalu lintas di setiap kemacetan yang kita lihat sehari-hari, masih jauh lebih semrawut dari suasana peringatan 212, padahal jumlah motor hanya belasan. Bukankah ketertiban seperti ini layak dirayakan?

Aksi 212 layak diperingati karena hampir setiap peserta aksi punya kesadaran bahwa mereka tidak hanya membawa diri sendiri, tapi juga image, brand, serta identitas seorang Muslim.

“Jangan injak rumput, ya.”

“Sudah jangan dorong, kalau sudah tidak ada tempat, sabar dulu saja.”

“Itu sampah ayo kumpulkan, jangan sampai menumpuk mengotori jalan.”

Dialog saling mengingatkan sangat sering terdengar sepanjang aksi. Saya sendiri sejujurnya tidak mendengar satu pun obrolan politik sepanjang aksi. Semua larut dalam kebersamaan dan zikrullah.

Kalaupun ada satu kesedihan adalah kenyataan bahwa aksi ini justru diabaikan sebagian besar media nasional pada hari itu dan hari sesudahnya. Ada yang menyebut sebagai bunuh diri massal media di Indonesia. Bagaimana mungkin sebuah aksi yang melibatkan jutaan rakyat diabaikan begitu saja.

Sepulang aksi, seorang kerabat sempat menyapa saya.

“Katanya yang ikut cuma 50 ribu orang, ya?”

Rupanya ia mengacu pada media yang ia baca atau dengar beritanya. Pertanyaan yang membuat saya bertanya dalam hati.

Bagaimana mungkin media yang seharusnya jeli menelusuri fakta, memublikasi angka yang membuat kita mengelus dada? Apakah khawatir ada kepentingan politik?

Terlepas hadirnya satu capres di perhelatan akbar tersebut, tidak berarti hal ini serta-merta membuat aksi menjadi politis. Karena, kalau kita lihat sejarah, dalam aksi 212 tahun 2016, Presiden Jokowi juga hadir.

Jika alumni 212 didefinisikan sebagai orang yang hadir dalam acara 212 pada tahun tersebut, maka semua yang datang adalah alumni. Jadi, posisi baik capres nomor satu maupun nomor 2 mempunyai keterikatan dalam Aksi 212.

Akhirnya, saya harus memberikan salut luar biasa pada harian Republika dan sejumlah kecil media lain yang meliput 212 di tengah pengabaian yang ada. Secara khusus rasa salut saya sampaikan kepada tokoh muda, Erick Thohir. Beliau notebene adalah Timses Jokowi Ma’ruf, tetapi dengan lugas dan berimbang menulis opininya tentang Aksi 212.

Setidaknya masih ada tokoh dan juga media yang bisa menyikapi aksi akbar tersebut secara bijak dan menempatkan pada porsi yang tepat. Rasanya aneh, aksi yang seharusnya menjadi selebrasi perdamaian Islam yang antikekerasan, antikerusakan, jauh dari kesan radikal, justru tidak dikumandangkan.

Jika damai adalah yang sesuatu kita idamkan untuk bangsa ini, harusnya dia menjadi salah satu yang kita banggakan. Lihatlah betapa hebatnya umat Islam Indonesia, mayoritas, tetapi bergerak dengan cinta dan damai. Seharusnya, kalimat semacam itu yang kita udarakan. Di tengah pertikaian di negara Islam, bukankah jika kebersamaan akbar seperti itu dilanggengkan, Indonesia bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi negara Muslim lain?

*******

Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here