Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Jum’at, 11/03 – 2016 ).

Para pejabat negara, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan menteri, memberikan contoh buruk soal ketaatan melaporkan harta kekayaan. Sudah lebih dari 1,5 tahun dilantik sebagai pejabat, mereka belum juga menyetorkan formulir “Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara” (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketidakpatuhan yang memalukan itu ternyata bukan urusan satu-dua orang. Menurut data komisi antikorupsi, dari 545 anggota Dewan, ada 203 orang yang belum menyerahkan formulir. Dari jumlah itu, 69 orang sama sekali belum pernah melaporkan harta kekayaannya dan 134 anggota lainnya tidak melakukan pembaruan data. Sembilan menteri juga belum melaporkan harta mereka.
Sebagai pejabat, semestinya mereka sangat paham ihwal kewajiban melaporkan harta kekayaan tersebut. Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di situ jelas tercantum bahwa harta kekayaan wajib dilaporkan pada saat pertama kali menjabat, sewaktu mutasi, juga ketika mendapat promosi dan pensiun.
Kesibukan kerja tak bisa menjadi alasan untuk menutupi kemalasan mengisi formulir harta kekayaan. Jika ada niat baik, andaikata sang pejabat sibuk, bukankah pengisian formulir harta kekayaan bisa didelegasikan kepada staf?
Formulir itu terlalu rumit? Ini juga bukan alasan. Sebab, pegawai komisi antikorupsi siap memberikan bimbingan teknis mengenai pengisian formulir, baik di kantor KPK maupun di instansi tempat sang pejabat bekerja.
Kalau kesibukan kerja menjadi alasan anggota Dewan, hal itu malah ibarat mencorengkan arang ke muka sendiri. Anggota DPR periode sekarang dikenal paling tidak produktif. Pada 2015, Dewan hanya menghasilkan tiga undang-undang dari 40 RUU prioritas 2015. Angka itu hanya 7,5 persen dari target.
Begitu sedikitnya hasil kerja tersebut, tak mengherankan jika Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia menyebut kinerja DPR pada 2015 merupakan yang terburuk sejak reformasi 1998.
Langkah KPK menjatuhkan sanksi hukum yang lebih berat patut didukung. Kini sejumlah usulan sanksi tengah digodok. Salah satunya, pegawai negeri yang lalai melaporkan harta kekayaannya akan dihambat promosi atau kenaikan pangkatnya.
DPR mesti disokong untuk mengeluarkan rekomendasi kepada rakyat agar wakil rakyat yang tak melaporkan harta tidak dipilih lagi pada pemilihan berikutnya.
Sembari menunggu sanksi yang pasti, tak ada salahnya KPK mengumumkan nama-nama wakil rakyat yang tidak patuh terhadap undang-undang itu. KPK juga perlu mengumumkan pejabat di lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan, yang juga belum menyetor laporan harta kekayaan.
Kepatuhan melaporkan harta kekayaan pejabat kian penting di tengah upaya negeri ini memerangi korupsi. Laporan Harta Kekayaan merupakan instrumen penting pemberantasan korupsi dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan.
Laporan itu sekaligus menjadi sarana bagi pejabat untuk berani bersikap jujur tentang harta yang dimilikinya. Kalau tak ada sumber harta yang bermasalah, tak ada alasan bagi sang pejabat untuk menunda laporan, apalagi sama sekali tidak melaporkan hartanya.
*********
Opini Tempo.co