Munawir Aziz,
Peneliti
Garut News ( Kamis, 05/06 – 2014 ).

Sejarah militer Indonesia dibangun dari kecemasan dan kegelapan.
Narasi panjang sejarah militer seolah merupakan tumpukan dokumen senyap yang belum selesai dimaknai.
Militer menjadi senjata ampuh untuk melanggengkan sekaligus meringkus kekuasaan.
Historiografi Indonesia tidak lepas dari sejauh mana sang pemimpin menempatkan diri sebagai jenderal, sebagai pijakan komando.
Dan, panggung politik di negeri ini ibarat papan catur, dengan bidak yang siap digerakkan menggunakan strategi, isu, dan kepentingan.
Pada titik ini, militer menempati ruang utama dalam panggung politik negeri ini.
Pada kisaran dua abad lalu, awal abad XIX menjadi panggung utama di mana militer menjadi basis utama untuk melawan kolonialisme.
Pangeran Diponegoro, dengan barisan laskar santri, tumenggung, dan janissary pribumi, berhasil mengacaukan “tatanan politik-ekonomi” Belanda.
Periode perang Jawa (1825-1830) menjadi fase di mana kekuatan imperial dilawan dengan strategi jihad berbasis gerilya.
Diponegoro, bersama Kiai Maja, Sentot Ali Basah, Pangeran Sasradilaga, dan sejumlah pasukan tempur, berhasil membuat bangkrut kekuasaan Kompeni.
Kemudian, lebih dari satu abad kemudian, pada paruh pertama abad XX, Jenderal Soedirman menjelma menjadi sosok penting, di mana kekuatan rakyat dipadukan dengan basis perlawanan gerilya.
Raden Soedirman (1916-1950) menjadi referensi kekuatan militer negeri ini di masa transisi antara perjuangan melawan Belanda, Jepang, dan agresi militer untuk mempertahankan kemerdekaan.
Jika dirunut, Diponegoro dan Soedirman masing-masing menggunakan kekuatan militer yang hampir sama, dengan peta dan konteks zaman yang berbeda.
Racikan militer antara kultur kiai-santri, karisma bangsawan, dan kekuatan tempur rakyat menjadi bagian dari skema yang dipakai oleh Diponegoro dan Soedirman.
Inilah referensi historis yang melahirkan peta kekuatan militer saat ini.
Dari periode zaman yang memanggungkan kisah Diponegoro dan Soedirman inilah, Indonesia belajar menggunakan siasat militernya.
Menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014, rakyat Indonesia membutuhkan referensi tentang masa depan negara dan komando politiknya.
Kultur warga negeri ini masih menempatkan simbol kepemimpinan sebagai instrumen penting.
Pada titik ini, Diponegoro dan Soedirman menjadi simbol kuasa politik.
Prabowo Subianto menautkan silsilah sebagai transformasi simbolik pasukan Pangeran Diponegoro Sayyidin Panatagama, sedangkan Joko Widodo dianggap mewakili karakter Jenderal Soedirman, dengan strategi blusukan dan tak kenal lelah menyapa warganya.
Inilah racikan simbol kepemimpinan yang menjadi sajian dalam kontestasi kuasa menjelang pilpres.
Lalu, bagaimana kekuatan militer diartikan sebagai instrumen politik?
Pada panggung kampanye politik saat ini, penting untuk melihat lingkaran-lingkaran kekuatan politik, militer, dan ekonomi yang mengelilingi sang capres-cawapres.
Meski Prabowo memiliki latar belakang militer yang terekam jelas, Jokowi pun didukung oleh barisan jenderal militer dengan rekam jejak di pelbagai masa.
Pertarungan para jenderal inilah yang menjadi bagian penting dalam episode panjang menjelang pemilu presiden 9 Juli.
Perebutan kepentingan politikus-pengusaha dan strategi politik militer menjadi fase sejarah dalam ruang politik negeri ini. *
*******
Kolom/Artikel : Tempo.co