Garut News ( Jum’at, 22/05 – 2015 ).

Pembubaran Pertamina Energy Trading Limited seharusnya menjadi momentum untuk membenahi pengadaan minyak dan gas.
Anak perusahaan Pertamina yang beroperasi di Singapura ini sebelumnya dituding penuh permainan dalam menyediakan minyak mentah dan bahan bakar minyak.
Setelah Petral dibubarkan, pengadaan BBM semestinya bisa lebih transparan. Anak usaha Pertamina yang lain, Pertamina Energy Service, yang mengambil alih peran Petral, perlu membuat mekanisme pengadaan yang terbuka.
Pelaporan keuangan perusahaan ini kudu lebih transparan agar publik bisa ikut mengawasi. Jangan sampai permainan gelap ala Petral terulang.
Selama ini Petral dituding menggelembungkan harga dalam pengadaan BBM. Hasil mark-up itu tak menguntungkan Pertamina, melainkan menguap entah ke mana. Petral hanya memberi diskon sangat kecil per barel kepada Pertamina.
Permainan ini terungkap setelah kewenangan Petral dicabut. Ternyata, melalui tender terbuka, Pertamina mendapat diskon harga berlipat-lipat. Diskon yang naik ini membuat Pertamina bisa berhemat. Ada ruang efisiensi sangat besar selama ini tak dimanfaatkan oleh Petral.
Pemborosan dilakukan oleh Petral itu harus diinvestigasi oleh tim auditor independen. Jika ditemukan pelanggaran hukum, hal itu harus diusut. Presiden Joko Widodo harus menjadikan penutupan Petral ini sebagai kesempatan membuka borok ada di dalamnya.
Perlu ada audit forensik atas semua dokumen milik Petral, termasuk membongkar permainan. Jangan sampai pembubaran ini justru menjadi strategi para begal migas untuk melenyapkan semua bukti.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga harus berani tampil di hadapan publik untuk menjelaskan apa peran Petral selama ini. Dia perlu menjelaskan kebijakan yang ia ambil terhadap Petral.
Tak perlu SBY menutup-nutupi jika ada pejabat atau pengusaha di lingkaran kekuasaannya mungkin diuntungkan oleh proyek basah itu.
Sepuluh tahun menjadi presiden, SBY pasti tahu masalah itu. Apalagi SBY pernah menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebelum menjadi presiden. Dengan pengalaman itu, semestinya SBY mampu mencium kejanggalan bisnis Petral sejak awal.
Presiden SBY juga terkesan membiarkan keberadaan Petral kendati saat itu kecurigaan masyarakat terhadap perusahaan ini muncul.
Boleh saja Pertamina memiliki tangan seperti Petral untuk berdagang minyak secara internasional. Tetapi membiarkan Petral menjadi pemain tunggal dan memainkan peran sentral dalam mengimpor kebutuhan bahan bakar minyak bagi seluruh negeri terbukti amat rawan.
Sebab, Petral bisa menjadi ajang korupsi.
Tak hanya perlu membongkar tuntas permainan Petral, pemerintah Jokowi juga harus mendorong Pertamina menciptakan mekanisme pengadaan bahan bakar minyak semakin efisien dan transparan.
Tak zamannya lagi perusahaan negara seperti Pertamina dijadikan sapi perah segelintir orang.
*******
Opini Tempo.co