Purnawan Andra,
Peminat Kajian Sosial-Budaya Masyarakat
Garut News ( Selasa, 22/04 – 2014 ).
Rumah adalah bangunan fisik yang mewadahi interaksi keluarga.
Di dalamnya berlangsung praktek-praktek kekerabatan seperti mengasuh anak, hubungan kakak-adik, sampai pembagian warisan.
Terkait dengan hal itu, desain arsitektur rumah juga akan selalu memperhitungkan pola pertukaran sosial dan timbal balik dalam hubungan antar-rumah dan masyarakat.
Dalam masyarakat kita, rumah dikelola oleh perempuan melalui pekerjaan dan kehidupan kesehariannya.
Perempuan mengelola rumah melalui pengawasan anak dan tenaga kerja domestiknya, termasuk pertukaran makanan dalam konteks sosial-kemasyarakatan bertetangga antarkeluarga.
Dengannya, perempuan juga bisa melakukan aktivitas pribadi yang mempunyai arti penting dalam konteks ekonomi, baik bagi keluarga maupun masyarakat.
Namun, Newberry (2013) mensinyalir, dalam negara pascakolonial Indonesia, unit sosial terkecil yang bernama keluarga (dalam sebuah rumah) bukan semata merupakan kesatuan orang tua dan anak.
Keluarga menjadi instrumen negara.
Penetrasi program pemerintah dan ideologi yang diproduksi negara ke dalam kesadaran warga negara di komunitas kampung, yang umum di perkotaan Indonesia, dapat dimungkinkan berkat keberadaan keluarga.
Keluarga menjadi sebuah “institusi” negara baru, sekalipun tidak memiliki status formal.
Lebih jauh, keluarga dalam fungsi seperti ini telah mendomestikasi perempuan secara lebih kuat.
Namun, pada saat yang sama, hal itu menegaskan otonomi mereka secara sosial dan politik.
Hal ini menjelaskan mengapa negara berkepentingan terhadap rezim pengaturan perempuan.
Rumah menyiratkan kuasa negara terhadap perempuan.
Negara berperan dalam mendoktrin masyarakat bahwa peran utama perempuan adalah mengasuh anak di rumah.
Perempuan dilegitimasi dengan instrumen otoritas berupa sistem budaya dan agama yang dominan dalam membentuk konstruksi sosial yang ada selama ini sebagai kanca wingking.
Bahkan, di lingkungan pendidikan formal, pendidikan kita juga bias gender.
Buku-buku pelajaran masih saja memuat kalimat “Bapak Bekerja, Ibu ke Pasar” yang bersifat seksis dan patriarkis.
Konsep nilai yang tak seimbang semacam ini menjadi kesadaran laten yang mengancam kualitas hubungan lelaki dan perempuan dalam sebuah rumah (tangga).
Pemerintah menempatkan keluarga pada suatu tatanan moral dan visi penting untuk menata masyarakat.
Lewat program-program yang dijalankan organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan, pemerintah memberikan pelayanan sosial berbiaya murah.
Melalui kegiatan PKK dan ide-ide retorik lainnya, negara mereproduksi kehidupan keseharian masyarakat, meski kadang tidak sesuai dengan kondisi masyarakatnya.
Perempuan seakan-akan dibebaskan dan diberi wadah lain, yang tampak sebagai “sangkar emas”.
Mereka keluar rumah, tapi kemudian ditangkap lagi oleh sebuah situasi yang identik dengan apa yang ditinggalkan sebelumnya.
Memang pemerintah sudah berganti dan kehidupan masyarakat bisa jadi telah berubah.
Namun, pola-pola yang sama (dalam bentuk berbeda) barangkali masih tetap dilakukan negara dalam menciptakan keteraturan versi pemerintah.
Karena itu, rumah penting dibaca sebagai dasar penciptaan pola interaksi yang lebih apresiatif terhadap peran perempuan sebagai pribadi yang eksis dalam konteks sosial masyarakatnya. *
*****
Kolom/Tempo.co