Robin William (1951-2014): Kupergi ke Hutan, karena Ingin Hidup…

0
53 views

Jakarta, Garut News ( Kamis, 14/08 – 2014 ).

robinKepergian sang legenda, komedian, aktor dan filantropis Robin Williams semalam, 11 Agustus 2014,  adalah sebuah kehilangan besar dalam hidup.

Memulai karirnya dari seorang komedian, tapi justru  tokoh-tokohnya yang serius dalam film drama seperti  “The World According to Garp” (John Irving, 1982),  “Dead Poet Society” (Peter Weir, 1989) dan “Good Will Hunting” (Gus Van Sant, 1997) dan “Insomnia” (Christipher Nolan, 2002) yang disebut-sebut sebagai pencapaian artistiknya dalam seni peran yang tertinggi dan nyaris tak tercela. 

Untuk mengenang kepergiannya, kami akan memuat kembali dua dari begitu banyak resensi dari film yang dibintangi Robin Williams yang dimuat di majalah Tempo: “Dead Poet Society” (yang dimuat di majalah Tempo 12 Januari 1991) dan “Good Will Hunting” (Majalah Tempo 15 Agustus 1999):

PUISI ROMANTIS WEIR

Seorang guru eksentrik di sekolah tradisional di Amerika yang mapan. Sebuah pertanyaan ulang tentang kekuatan romatika puisi di dalam dunia yang dipaksa menjadi tertib.

***

DEAD POET SOCIETY
Sutradara : Peter Weir
Skenario : Tom Schulman
Pemain : Robin Williams, Ethan Hawke, Robert Sean Leonard, Josh Charles

Apakah Dead Poets Society?

Di tengah lapangan sepak bola, ketujuh murid sekolah Welton berjongkok mendengarkan John Keating (Robin Williams) dengan mata ingin tahu.

“Pada masa lalu, kami biasa berkumpul di sebuah gua dan bergumul dengan Whitman, Shelley, Thoreau, Byron, serta penyair romantis lainnya. Kami menghirup sumsum tulang dan menikmati madu kehidupan dengan penuh birahi.”

Ketujuh pemuda itu terpesona.

Mereka mengikuti jejak guru yang unik dan eksentrik itu.

Malam hari, mereka berlari di atas bukit menuju sebuah gua.

Entah bagaimana, puisi menjadi bagian tenaga gaib yang mampu mengubah mereka menjadi anak-anak muda yang penuh gelora.

Mereka tidak membaca puisi untuk sekadar menjadi elok, tapi mereka mengubah kehidupan menjadi sebuah puisi.

Sekolah prepatory seperti Welton Academy—sekolah persiapan seusai SMA menuju universitas bergengsi AS—adalah lambang kemapanan.

Bukanlah kebetulan jika sutradara Peter Weir memilih tahun 1959 sebagai latar belakang film ini, karena masa itu adalah periode ketika bibit gerakan anti kemapanan mulai  berkembang.

Kemapanan itu digambarkan dengan baik oleh Weir melalui  adegan pembukaan saat kepala sekolah Welton (Norman Lloyd) bangga karena 75 persen muridnya diterima di Harvard University.

Juga diwakili oleh Tuan Perry (Kurtwood Smith) yang dengan otoriter menyuruh anaknya, Neil (Robert Sean Leonard), menghentikan kegiatan ekstrakurikuler ‘agar diterima di sekolah kedokteran Harvard”.

John Keating, alumnus Welton yang sempat mengecap pendidikan tinggi di London, datang sebagai “penggerebek” tradisi.

Dia masuk ke kelas sambil bersiul dan meminta dipanggil Kapten.

Diajaknya para murid meninggalkan  kelas dan mengamati foto-foto masa lalu.

Dia berbisik mengutip Walt Whitman “Carpe Diem”  , “Rebutlah hari ini, petiklah mawar selagi sempat, karena suatu hari kita akan mati.”

Keating juga mengajar murid-muridnya membaca satu bait puisi sambil menendang bola dilatari musik Song of Joy  karya  Beethoven.

Dia menyuruh murid-muridnya menyobek 20 halaman pertama analisis  Doktor Evans Pritchard yang berisi bagaimana memahami puisi.

Dengan gaya sinting, Keating berdiri di atas meja mengajarkan “bagaimana memandang dunia dari sisi yang berbeda” dan di bawah pelototan kepala sekolah, Keating mengajar anak-anaknya berjalan seenaknya agar mengerti bahaya sikap yang terlalu patuh pada tata cara.

Namun, ini bukan sekadar cerita guru eksentrik di sekolah tradisional Amerika.

Film ini adalah sebuah pernyataan ulang tentang kekuatan romantika puisi di dalam dunia yang dipaksa menjadi tertib dan seragam.

Amerika, dengan segala slogan kebebasan berpikir, sebenarnya juga sebuah masyarakat yang konformistis dan menginginkan keseragaman.

Welton Academy adalah sebuah dunia ketertiban yang akan menghasilkan calon dokter atau calon pengacara.

Sedangkan gua, tempat ketujuh pemuda itu bertemu, adalah simbol “primitivisme”, keinginan kembali ke alam.

Gua itu adalah tempat pertama ketika mereka menjelajah diri sendiri.

Di sini mereka tak ragu mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang orisinil meski harus menentang arus tradisi.

Menjadi nonkonformis seperti John Keating bak air sungai yang mengalir di atas gerunjal bebatuan.

Keating percaya pada penyair Frost, yang mengatakan “Ada dua jalan, dan aku mengambil jalan yang tak dipilih orang.” 

Karena keputusan pribadi yang berbeda dengan lingkungannya, Keating harus menerima risiko.

Dia dikeluarkan dari Welton Academy karena Neil bunuh diri.

Neil, yang dengan semangat berbuih mempraktekkan Carpe Diem, ternyata tak kuasa membantah keinginan ayahnya untuk menghentikan kegiatan dramanya.

Dan Welton, sekolah prestisius itu, butuh kambing hitam.

Pencarian kambing hitam adalah jalan keluar khas bagi sebuah institusi yang tak ingin dianggap gagal.

Dan Amerika, menurut Peter Weir, adalah masyarakat yang tak pernah mau mengakui kesalahan yang pernah diperbuatnya.

Itulah sebabnya kita melihat kepala sekolah Welton memaksa ketujuh pemuda menandatangani  pernyataan yang berisi Keating yang bertanggungjawab atas kematian Neil.

Kita tetap melihat sebuah potret yang romantis sebagai akhir bait-bait puisi yang digubah Peter Weir melalui kamera John Seale.

Sepanjang film, kita melihat adegan ribuan burung yang beterbangan dengan bebas di musim gugur yang basah, adegan ketujuh pemuda yang berlari ketika butir salju berjatuhan, dan adeg pagi yang basah ketika seorang pemain bagpipe memainkan musik Skotlandia.

Itu bukan sekedar potret yang cantik,lainkan bait = bait puisi kebebasan.

Seperti pada film “Gallipoli” dan “Witness”, Weit menutup puisinya dengan bait yang romantis.

Ketika Keating akan pamit, sementara Kepala Sekolah mengambil alih posisinya sambil mengajar jurus Doktor Protchard yang nyinyir, sebuah keajaiban terjadi.

Todd berteriak bahwa mereka dipaksa menandatangani pertanyaan itu.

Lantas dia berdiri di atas meja sambil berseru “Kapten, Kaptenku” yang kemudian diikuti kawan-kawannya.

Ini memang fantasi Weir.

Kita tahu, kepala sekolah terlalu galak untuk membiarkan  murid-muridnya segila itu.

Namun adegan ini memperlihatkan kekuatan emosi puisi yang tak terbendung.

Dan Keating berkaca-kaca matanya.

“Kupergi ke hutan karena ingin hidup” katanya mengutip Walt Whitman, “tetapi di ambang kematian, kutahu aku tak pernah hidup” (*)

****

SEORANG JENIUS DI POJOK KUMUH BOSTON

Kisah Will Hunting, si jenius matematika yang menyia-nyiakan bakatnya karena kemarahan. Datanglah sang psikolog yang mampu mengguncangnya.

GOOD WILL HUNTING

Sutradara: Gus van Sant
Skenario: Matt Damon dan Ben Affleck
Pemain: Matt Damon, Ben Affleck, Robin Williams

DIA bukan siapa-siapa.

Di antara ribuan mahasiswa MIT yang bergesekan ego itu, dia hanyalah seorang anonim yang sia-sia.

Dia seorang tukang pel koridor ruang kuliah, yang hampir “bernilai” nol dibandingkan dengan para calon sarjana Massachusetts Institute of Technology.

Siapa yang pernah menyangka, dialah satu-satunya yang bisa memecahkan soal-soal matematika yang pelik yang bahkan tak mampu diurai oleh para profesor dan bahkan dekan fakultas matematika?

“Dia bukan cuma melampaui saya. I am nothing. Dia adalah seorang Einstein baru,” demikian tutur dekan yang “menangkap” Will Hunting, si tukang pel kampus MIT yang ternyata seorang jenius itu.

Tetapi ada persoalan. Will Hunting, sang yatim piatu itu, gemar berkelahi, temperamental, sangat defensif, dan yang gawat, luar biasa angkuh.

Dia tahu bahwa kelebihannya itu sebetulnya bisa “membeli” apa saja di dunia, tetapi dia sengaja menyia-nyiakan hidupnya dengan keluyuran tanpa juntrungan bersama ketiga kawannya, sembari sesekali minum dan ngobrol di bar.

Upaya sang dekan untuk menggosoknya sebagai ahli matematika-sembari memanggil psikolog untuk mengolah problem kepribadian Will Hunting-gagal.

Will Hunting terlalu diliputi oleh sebuah masa lalu yang kelam dan penuh luka.

Ia lebih suka menguburnya dalam-dalam dan berpretensi bahwa ia cukup puas dengan pekerjaannya sebagai tukang pel atau buruh bangunan harian.

Hanya ketika ia kemudian mendapat sentuhan personal dari psikolog yang diperankan oleh Robin Williams-tentu saja dengan susah payah-Hunting “tunduk” kepada kekuatan nurani.

Film yang berhasil meraih dua piala Academy Awards tahun silam ini-untuk Matt Damon dan Ben Affleck sebagai penulis skenario terbaik dan Robin Williams sebagai peran pembantu terbaik-adalah sebuah terobosan dalam penggalian tema.

Film-film Hollywood yang memilih tema tentang sosok yang jenius lebih asyik bermain di dalam kejeniusan sang tokoh (“Little Man Tate” karya Jodie Foster, misalnya) daripada problem psikologis yang dialami orang-orang istimewa ini.

Problem masa kecil Will Hunting yang didera dan disiksa orang tua angkatnya-adalah sebuah problem universal yang menghasilkan beragam watak manusia.

Salah satu akibat masa kecil yang penuh siksa akan menghasilkan watak orang yang sulit berkomunikasi, defensif, dan temperamental macam Hunting, hingga ia menjadi seorang yang destruktif.

Dan sutradara Gus van Sant menggali psikologi Hunting dengan penggarapan yang mendalam.

Meski film ini berakhir dengan romantika Hollywood, film ini bercerita tentang pentingnya sebuah proses dalam memahami diri sendiri. (*)

Leila S. Chudori / Tempo.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here