Ribut di Pusat, Risau di Daerah

0
98 views

Sunaji Zamroni,Penulis Adalah Peneliti Kebijakan Publik Dan Deputy Director Ire Yogyakarta

Garut News ( Selasa, 13/01 – 2015 ).

Ilustrasi. Wajah Desa. (Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. Wajah Desa. (Foto : John Doddy Hidayat).

Dana desa mengecewakan kepala desa. Janji kampanye presiden satu desa satu miliar tak jadi tiba. Mereka bergantian mengadu kepada pejabat Pemerintah Kabupaten Gunungkidul pada siang yang makin gerah itu.

Satu persatu kepala desa menanyakan ihwal implementasi UU Desa. Ada yang menyoal kewenangan desa, ada pula yang memprotes kecilnya dana desa.

Tahun anggaran 2015 menjadi awal implementasi UU Desa yang fenomenal itu. Setelah satu dasawarsa diperjuangkan oleh para pegiat pembaruan desa, kepastian hukum desa di republik ini pun dicapai.

Regulasi ini disebut fenomenal karena proses dan isinya lahir-tumbuh dari gagasan-gagasan progresif para pegiat desa, kepala desa, pemikir desa, dan kaum rentan di desa.

Desa membangun menjadi arus balik yang dijanjikan. Proyek desa tidak lagi akan mengalir dari tangan orang-orang Jakarta.

Karena desa akan merencanakan sendiri proyek-proyeknya, berdasarkan kebutuhan dan uang yang digenggamnya.

Arus balik desa membangun ini akan deras mengalir pada era pemerintah Jokowi. Apa sebab? Karena desa menjadi unggulan ketiga di dalam Program Nawacita Presiden Jokowi.

Senyawa kepemimpinan presiden yang pro-desa dan pengaturan UU Desa inilah yang akan mempercepat tumbuh dan berkembangnya desa sebagai penopang kemajuan negara.

Saat inilah momentum emas membangun Indonesia dari desa.

Namun tak ada pohon menjulang tinggi yang luput diterpa angin. Pemerintahan Jokowi pun harus berjibaku mempersiapkan implementasi UU Desa ini.

Warisan rezim sebelumnya yang telah menerbitkan peraturan teknis (PP No 43/2014 dan PP 60/2014) justru menyerimpung langkah pada masa transisi.

Peraturan teknis tersebut dinilai tidak sejalan dengan UU Desa. Kajian IRE atas PP 43/2014 pun menemukan kontradiksi itu.

Ada soal musyawarah desa yang sekadar prosedural, cara hitung penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa yang seragam, serta soal pendamping desa yang akan direkrut dari para fasilitator PNPM Mandiri Pedesaan.

Temuan Seknas Fitra pun merekomendasikan pencabutan PP 60/2014 tentang dana desa tersebut. Sudah kecil jumlahnya, dikendalikan pula penggunaannya.

Pemerintah pusat tampaknya sibuk berberes. Satu sisi regulasinya masih banyak lubang, sisi yang lain dua kementerian tak kunjung akur soal mengurus desa.

Pihak Ditjen PMD Kemendagri dituding jengah dengan terobosan sang Presiden. Urusan desa yang jelas diampu oleh Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi terus diributkan oleh paham dan kepentingan mereka.

Bahkan ada indikasi kuat keributan ini bertalian dengan kepentingan partai politik pendukung Jokowi. Mereka meributkan akses sumber daya di tengah jarum waktu daerah harus mempersiapkan diri mengawal desa.

Jangankan memperkuat kapasitas desa, untuk melangkah pun mereka risau.

Pusat tak kunjung tegas mengirimkan sikap dan aturan. Bertambah lagi saat ini DIPA Dana Desa telah diterima daerah.

Artinya, daerah harus segera meminta nomor rekening bendahara desa untuk mengirimkan dana desa tersebut.

Padahal masih banyak yang belum beres menata kembali organisasi desa, belum lagi memahamkan perangkat desa tentang tata cara menggunakan dana desa, belum juga menyiapkan regulasi daerah soal kewenangan desa, organisasi desa, perencanaan desa, keuangan desa, dan aspek-aspek teknis lainnya.

Pantang surut layar terkembang. Ungkapan ini sesuai dengan penegasan Farhan, Kepala Subag Kekayaan dan Keuangan Desa Pemerintah Kabupaten Gunungkidul.

“Kami jalan terus dengan aturan yang ada, meski ini bersifat transisi.” Saat daerah lain risau melewati awal tahun anggaran, Gunungkidul terus menyiapkan regulasi daerah dan kesiapan desa.

Seperangkat regulasi daerah pun sudah disesuaikan, yakni perda organisasi desa, perda pemilihan kepala desa, peraturan bupati (perbup) kewenangan desa, perbup perencanaan desa, perbup pedoman penyusunan AB Desa, perbup penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa, perbup pedoman ADD, serta perbup pengadaan barang/jasa pemerintah desa.

Mereka pun jauh hari telah mengumpulkan seluruh kepala desa, BPD, dan tokoh desa untuk memahami isi dan arah UU Desa.

Bahkan Gunungkidul pun telah menginformasikan setiap desa rata-rata akan menerima sekitar Rp 600 juta dari ADD dan Rp 150 juta dari dana desa.

Kesiapsiagaan Gunungkidul pun lentur atas perubahan yang bakal terjadi. Artinya, mereka sadar bahwa jalan yang ditempuhnya di atas kelabilan regulasi pemerintah pusat yang pasti berubah dan berimbas kepada dirinya.

Biarpun pusat beribut paham, desa harus segera dikawal menjalankan UU Desa.

Merujuk pada situasi dilematis ini, penting kiranya meniru langkah Gunungkidul. Pusat harus segera membereskan keributan.

Presiden Jokowi penting menyudahi polemik beda tafsir Perpres 165/2014. Segera Kemendesa, PDT, dan Transmigrasi menggelar peta jalan pelaksanaan UU Desa.

Daerah-daerah pun harus segera memastikan pembagian kewenangan desa, mengembangkan rute pelembagaan desa, memfasilitasi perencanaan desa dan memperkuat aspek administrasi pengelolaan keuangan desa.

Warga desa pun harus mengorganisasi diri dan merajut jaringan antardesa, agar dana desa tidak diselewengkan.

*******

Kolom/Artikel Tempo.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here