Agus M. Irkham, Pegiat Literasi
Garut News ( Kamis, 23/04 – 2015 ).

Pada awal 2000, John Wood, pria berusia 36 tahun, Direktur Pemasaran Microsoft Divisi Asia-Pasifik dan Australia tengah berada di ketinggian 12 ribu meter, terbang melintasi Pasifik, dari Sydney ke Los Angeles.
Dalam perjalanannya yang panjang itu, ia membaca laporan dari PBB tentang keadaan pendidikan di negara-negara berkembang.
Sekonyong-konyong, ia terkejut begitu matanya tertumbuk pada deretan data yang menyatakan 850 juta orang di dunia tidak memiliki literasi dasar, alias buta huruf. Dan, dari 850 juta tersebut, dua pertiganya adalah perempuan.
Dengan kata lain, dalam setiap sepuluh orang yang buta huruf, tujuh juta di antaranya adalah perempuan.
Mendapati fakta-fakta tak terduga tersebut, singkat cerita, pada tahun yang sama, John Wood pun pamit mundur dari Microsoft dan mendirikan Room to Read. Melalui organisasi nirlaba ini, ia mempromosikan arti penting penguasaan keaksaraan dasar bagi anak-anak, khususnya di kawasan Asia melalui pendirian perpustakaan.
Hingga 2014, Wood telah mendirikan lebih dari 10 ribu perpustakaan. Bahkan kegiatannya tidak hanya terbatas pada pendirian perpustakaan, tapi juga pemberian beasiswa pendidikan.
“Program hadiah pendidikan seumur hidup,” kata John Wood, seperti yang tertulis di buku Leaving Microsoft to Change The World (2007).
Dalam konteks “Hari Buku Sedunia” yang dirayakan setiap 23 April, John Wood telah memberi contoh yang gamblang tentang ujung dari gerakan literasi, atau lebih khusus lagi aktivitas membaca buku, yaitu meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat luas, baik secara ekonomi maupun kehidupan sosialnya.
(Membaca) buku menjadi pintu masuk melakukan perubahan sosial secara cepat. Strategi ini untuk sementara saya istilahkan dengan readvolution (revolusi membaca).
Hal itu penting, lantaran wacana “kesaktian” (membaca) buku untuk diri si pembaca (personal ) sudah usai. Diskusi tentang ini dapat dipastikan akan bermuara pada penyebutan sosok-sosok besar yang hidupnya banyak terinspirasi oleh buku. Dipungkasi satu kalimat klise: membaca jendela dunia!
Kegiatan membaca, sebagai gaya hidup yang terakumulasi ke komunitas-komunitas pembaca buku dengan genre khusus, pelan-pelan juga semakin kurang relevan. Terutama jika dihadapkan pada kompleksitas persoalan kemanusiaan (berbangsa dan bernegara).
Pencerahan dan keasyikan membaca buku hanya bisa dinikmati oleh para eksponennya. Kadang, dari luar justru menjadi semacam pernyataan penegasan perbedaan kelas.
Sekarang, kita perlu memberikan makna baru terhadap aktivitas membaca buku. Ia tidak lagi cukup menjadi aset personal dan komunal. Alih-alih menjadi tujuan, banyaknya buku yang dimiliki dan jumlah judul buku yang telah selesai dibaca menjadi ukuran keberhasilan. Kita harus melakukan readvolution.
Tanpa itu, perjalanan membaca buku hanya sebuah proses privatisasi terhadap kecerdasan, kebijaksanaan, keluasan wawasan, dan ketercerahan suasana batin. Hanya wujud dari snobisme intelektual, minus kepedulian sosial.
*******
Kolom/Artikel Tempo.co