Putu Setia
@mpujayaprema
Garut News ( Ahad, 09/09 – 2014 ).

Sudah lima orang calon legislator untuk Dewan Perwakilan Rakyat menemui saya.
Tujuannya meminta doa restu.
Karena yang diminta cuma restu, saya pun mengabulkan.
Jangankan caleg, setan pun, kalau memang ada, saya beri restu.
Pada semua baliho caleg yang bertebaran di jalan, ada permohonan doa restu dan meminta dukungan.
Seolah-olah itu kata wajib.
Adapun kata selebihnya bermacam-macam: berjuang untuk rakyat, bersama membangun bangsa, mengabdi untuk negara, dan seterusnya.
Kata-kata klise.
Ternyata ini pun bukan murni dari sang caleg, melainkan copy-paste yang dilakukan perusahaan pencetak baliho.
Di Bali ada 100 caleg untuk DPR memperebutkan sembilan kursi.
Akan ada 91 orang yang nanti stres akut.
“Karena itu, saya mohon doa restu Nak Lingsir. Kalau gagal, anak dan istri ikut stres. Modal saya kan dari menjual kebun,” kata seorang calon.
Nak Lingsir itu sapaan saya di Bali, artinya “orang yang dituakan”.
Saya terenyuh.
Orang ini pendatang baru.
Ratusan juta modalnya untuk memimpikan kursi di Senayan.
Ketika uang yang disetorkan ke partai “tak memenuhi standar”, ia hanya mendapat nomor urut tujuh.
Caleg lainnya, semuanya sudah duduk di Senayan.
Uangnya banyak dan bukan dari menjual kebun.
“Ya, nabung dari berbagai kegiatan, antara lain sangu dari studi banding ke luar negeri,” kata seorang caleg.
Sebelum memberi restu, saya memang jail menanyakan ini dan itu.
Selain soal dana, saya menyindir mereka sebagai wakil rakyat yang tak pernah bersuara di Jakarta.
“Yunior saya, Gede Pasek Suardika, paling vokal di Jakarta, disanjung di Bali karena cerdas, malah dia tak mencalonkan diri. Kok kalian mau duduk lagi, bisa berbuat apa untuk Bali?” tanya saya.
Para caleg itu umumnya tertawa yang tak jelas arahnya, sampai saya sempat berpikir jangan-jangan mereka sudah mulai stres.
“Ah, Pasek itu kan karena dibuang oleh partainya, dia terlalu berani. Saya ini sangat nurut, setoran saya pada partai pun tak pernah nunggak,” kata seorang caleg.
Kejailan saya pun bertambah.
Saya tanya, sudah berapa lama meninggalkan Jakarta?
“Sudah dua bulan. Ini pertarungan berat, rakyat sudah mulai pintar, tak mau lagi ‘diserang fajar’ dengan duit seratus ribu. Harus lebih banyak bergerilya,” kata seorang caleg.
Saya langsung ceramahi caleg ini.
“Kamu berdosa besar kepada rakyat. Dua bulan lebih absen, pantas saja sidang-sidang DPR kursinya kosong. Padahal gaji dan tunjangan enam puluh juta itu tetap diterima, kan? Kalau tidak terpilih, masih juga untung, ada pensiun seumur hidup. Enak benar.”
Herannya, para caleg itu tak ada yang marah, bahkan merasa tersinggung pun tidak.
Mungkin sudah imun.
Atau memang saat ini mereka berubah status menjadi pengemis, seperti tergambar di baliho mereka yang semuanya menadahkan tangan memohon dukungan.
Mereka celingak-celinguk bak orang kehilangan sandal seusai sembahyang.
“Sindiran Nak Lingsir saya terima, yang penting kan restunya,” katanya sebelum pamit.
Saya cuma mengangguk.
Tapi ada yang nyeletuk: “Yang penting, wani piro?”
Yang ngomong “wani piro” itu keponakan saya.
Kata dia, saat ini harga satu suara untuk DPR sudah Rp 250 ribu, untuk DPRD Rp 200 ribu.
Alasannya, mereka itu kan cari pekerjaan, harus nombok.
“Uang seratus ribu sudah tak ada harganya,” kata ponakan saya.
Lo, ini kok jual suara?
“Tidaklah, uang diterima, yang dicoblos terserah.”
“Dosa berbohong dan ingkar janji,” kata saya.
“Membohongi pembohong kan dosanya impas,” kata keponakan saya.
Untung caleg itu cuma minta restu, bukan minta dipilih.
*****
Artikel/ Tempo.co