Garut News ( Kamis, 23/04 – 2015 ).

KONSISTENSI Presiden Joko Widodo patut dipertanyakan setelah Komisaris Jenderal Budi Gunawan kemarin resmi menjadi Wakil Kepala Polri.
Ia meloloskan usulan Dewan Jabatan dan Kepangkatan sekaligus mengabaikan pernyataan politiknya sendiri soal penempatan jenderal bintang tiga itu.
Budi Gunawan menjadi pusat perseteruan antara elite politik dan publik dalam tiga bulan terakhir.
Jokowi mencalonkan mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu pada Januari lalu sebagai Kepala Polri ke Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi menjadikan dia tersangka perkara gratifikasi dan suap.
Mengabaikan status tersangka, mayoritas fraksi di Dewan setuju Budi menjadi Kepala Polri. Keputusan Senayan ini menempatkan Jokowi pada posisi sulit: tidak melantik bakal berhadapan dengan partai politik dan, sebaliknya, jika melantik akan melawan publik yang menolak pencalonan. Ia mengambil pilihan pertama.
Dalam pidato singkat pada Februari lalu, Jokowi mengatakan pencalonan Budi telah menimbulkan pertentangan dalam masyarakat. Untuk itu, ia memutuskan untuk tidak melantik Budi guna “menjaga ketenangan dalam masyarakat”.
Para politikus berang, tapi publik lega dengan keputusan itu.
Gerakan politik buat menempatkan Budi Gunawan di “tempat terhormat” ternyata tak berhenti. Dalam konsultasi dengan Presiden yang kemudian mencalonkan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, para politikus Senayan meminta agar Budi ditempatkan sebagai Wakil Kepala Polri.
Sejak itu, jalan bagi Budi menuju kursi Tri Brata-2 sebenarnya telah dibuka lebar-lebar.
Benar saja, Dewan Jabatan yang dipimpin Badrodin–ia baru dilantik akhir pekan lalu–mengajukan Budi sebagai calon tunggal. “Konsultasi” dengan Presiden pun terkesan dilakukan hanya untuk memenuhi Pasal 57 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian RI.
Jokowi menyatakan merestui pengangkatan Budi.
Kali ini, Presiden mengabaikan alasan “demi ketenangan publik”. Ia memilih memenuhi desakan partai-partai politik. Ia pun seolah memberi legitimasi terhadap klaim elite kepolisian bahwa pelantikan kemarin merupakan “rehabilitasi atas nama baik Budi Gunawan”.
Inilah kekalahan telak gerakan antikorupsi, yang menginginkan perkara suap dan gratifikasi sang jenderal diselesaikan tuntas di pengadilan.
Kita tahu, kasus ini berhenti karena putusan kontroversial Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan praperadilan atas penetapan tersangka Budi Gunawan–sesuatu yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dengan kata lain, proses hukum sebenarnya belum menyentuh substansi perkaranya.
Setelah Budi menjadi orang kedua di Polri, hampir mustahil Badan Reserse Kriminal yang mendapat limpahan berkas perkara ini meneruskannya. Hubungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi pun kecil kemungkinan akan membaik.
Sungguh mahal harga ketidakkonsistenan Presiden Jokowi dalam soal ini.
******
Opini Tempo.co