Alan F. Koropitan, Lektor Kepala Bidang Oseanografi Institut Pertanian Bogor
Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 02/11 – 2015 ).

Keputusan Presiden Joko Widodo membentuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, setahun yang lalu, seakan menegaskan bahwa tumpang-tindih di sektor kelautan yang menghambat pembangunan selama ini harus segera dibenahi.
Presiden menyadari bahwa, selain kesemrawutan sektoral kelautan, kita telah terlalu lama memunggungi laut.
Saat kampanye pada Juni 2014, Jokowi mengejutkan ahli kelautan di Indonesia dalam forum Hari Kelautan Sedunia di Bandung. Dalam forum itu, dia tanpa basa-basi langsung mempresentasikan restorasi maritim: budi daya laut, pasar gelap tuna dan pemanfaatan perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE), penangkapan ikan ilegal, serta padat karya sektor maritim. Keempat konsep tersebut mendapat apresiasi positif, karena inilah yang ditunggu-tunggu selama ini.

Konsep restorasi maritim ini sebetulnya dapat menjadi langkah awal untuk mewujudkan kejayaan maritim, selain konsep “tol laut” yang mengedepankan konektivitas laut. Konsep restorasi maritim sepertinya cepat naik daun, tapi setelah itu tenggelam.
Hal yang patut diapresiasi adalah penangkapan kapal pengangkut ikan ilegal. Jadi, harus mulai dari mana proses penguraian kesemrawutan tersebut dalam restorasi maritim?
Riset Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB mengidentifikasi bahwa wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan di laut hanya 27 persen, selebihnya dikuasai oleh kementerian dan lembaga lain.
Ada harapan tinggi bahwa Menteri Koordinator Kemaritiman menerbitkan kebijakan terintegrasi kelautan yang bersifat instruksi operasional lintas kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah. Sayangnya, sampai saat ini belum ada kebijakan tersebut, padahal sudah dimandatkan Undang-Undang Kelautan.
Dari sisi luas laut, Indonesia ketika merdeka hanya memiliki luas laut sekitar 100 ribu kilometer persegi. Dengan adanya Deklarasi Djuanda dan diakui secara internasional melalui Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, total luas perairan laut Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta kilometer persegi, termasuk 2,7 juta kilometer perairan ZEE. Luas perairan laut mencapai 70 persen dari total wilayah kedaulatan RI.
Namun total pekerja di sektor laut dan pesisir hanya berkisar 5,6 juta orang, 2,3 juta di antaranya nelayan dan petambak 3,3 juta. Pembangunan nelayan seutuhnya terkesan jalan di tempat. Yang tampak adalah kebijakan populis seperti rencana pembagian 5.000 kapal.
Nelayan memang membutuhkan armada untuk menangkap ikan sampai jauh ke perairan ZEE, tapi kebutuhan kapal dan alat tangkap sangat bervariasi.
Dengan luas laut demikian, Kementerian Kelautan membagi menjadi 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dengan mandat penuh pada Menteri Kelautan dan Perikanan. Ide pembagian 11 zona pengelolaan ini adalah pengakuan akan keunikan karakteristik oseanografi dan jenis ikan yang beragam, sehingga perlu disikapi dengan pendekatan kebijakan pengelolaan perikanan yang khusus.
Melihat keunikan masing-masing zona laut, sudah saatnya WPP bertransformasi menjadi Badan Otorita Pengelolaan Perikanan. Kerangka kelembagaan ini dapat mengadopsi Regional Fisheries Management Organization yang diterapkan dalam konteks WPP, serta didukung oleh instrumen regulasi pengelolaan perikanan berbasis pendekatan ekosistem.
Dengan demikian, wewenang Menteri Kelautan akan terdelegasi dalam Badan Otorita yang khusus mengelola masing-masing WPP. Porsi jabatan di Kementerian Kelautan dengan sendirinya akan berkurang. Badan Otorita juga dapat ditugasi membangun budidaya laut yang tangguh dan saling menunjang dengan kegiatan penangkapan.
Sementara itu, ada tantangan di tingkat global berupa ancaman perubahan iklim dan pertambahan penduduk dunia. Kebutuhan makanan laut, khususnya ikan segar, diprediksi akan melonjak hingga 45 persen per tahun. Pada sisi lain, stok ikan laut memiliki keterbatasan.
Hasil tangkapan ikan laut dunia, menurut FAO (2014), cenderung stagnan pada kisaran 70-80 juta ton per tahun. Untuk itu, World Bank (2013) sudah memperkirakan bahwa konsumsi ikan laut pada 2030 hanya bisa dicukupi oleh produksi budi daya laut, yaitu mencapai hampir dua kali lipat dari produksi penangkapan.
Indonesia memang berjaya dengan budidaya tambak (udang dan bandeng) yang lahannya berkisar 600 ribu hektare, tapi saat ini banyak yang telantar dan memerlukan revitalisasi, bukan perluasan lahan. Luas lahan budi daya laut masih terbatas, yaitu sekitar 117 ribu hektare atau tak sampai 1 persen dari luas potensial budidaya laut yang Indonesia miliki (12 juta hektare).
Sayangnya, ini diperparah oleh efisiensi petambak Indonesia yang tergolong paling rendah, yaitu 1 ton per orang per tahun. Bandingkan dengan Cile sebesar 35 ton per orang per tahun atau bahkan Norwegia 187 ton per orang per tahun (FAO, 2010).
Hal lain yang menghambat restorasi maritim adalah sebaran industri pengolahan di Indonesia yang 60 persen berada di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di Sumatera dan Indonesia bagian timur. Masalah ini mengganggu rantai pasokan bahan baku yang umumnya berada di luar Jawa dan pada kenyataannya masih terhambat oleh masalah konektivitas laut.
Ini terjadi karena belum jelasnya pelaksanaan “tol laut” yang dulu jadi janji kampanye Jokowi.
********
Artikel/Kolom Tempo.co