Garut News ( Rabu, 18/12 ).

Ketika berkampanye sebagai calon presiden pada 2004, Susilo Bambang Yudhoyono berjanji menaikkan rasio pajak atas produk domestik bruto.
Ia akan mendongkrak rasio pajak, yang saat itu cuma sekitar 12 persen, menjadi 19 persen.
Sampai dua periode memerintah, janji ini tak bisa dipenuhi.
Rasio pajak sekarang bahkan lebih rendah dibanding saat Yudhoyono mulai memerintah.
Rasio pajak tahun ini hampir dapat dipastikan di bawah angka tahun lalu, yang sebesar 11,5 persen.
Soalnya, penerimaan pajak tahun ini begitu seret.
Hingga Desember ini, pendapatan pajak baru mencapai Rp 814,7 triliun atau 82 persen dari target.
Tahun lalu, penerimaan pajak mencapai Rp 980 triliun dengan PDB saat itu sekitar Rp 8.500 triliun.
Kegagalan itu menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membenahi sistem perpajakan yang masih amburadul.
Potensi pajak pun tidak bisa digali secara maksimal.
Tak perlu membandingkannya dengan negara-negara maju.
Dari standar negara-negara tetangga, yang secara ekonomi setara atau malah lebih rendah-seperti Filipina-rasio pajak kita masih kalah.
Untuk rata-rata di kawasan Asia, rasio pajak sebesar 17-21 persen.
Pemerintah juga belum sanggup mengubah komposisi pembayar pajak.
Di negara maju, komposisi pajak pribadi biasanya lebih dominan.
Tapi di sini, situasinya terbalik.
Penerimaan pajak kita masih sangat bergantung pada pajak penghasilan perusahaan (PPh badan), dengan porsi sekitar 80 persen.
Itu sebabnya, begitu krisis ekonomi global berimbas pada kinerja perusahaan-perusahaan nasional, penerimaan pajak langsung tergerus.
Laba penyumbang pajak terbesar, seperti sektor pertambangan dan perkebunan, menipis akibat turunnya harga komoditas itu di pasar dunia.
Pajak mereka pun berkurang.
Tingkat kepatuhan membayar pajak di negara ini juga masih sangat rendah.
Dari sekitar 5 juta perusahaan yang tercatat di Kementerian Hukum, hanya sekitar 500 ribu yang rutin melaporkan pemberitahuan pajak mereka. Yang lain sengaja mangkir dan tak terjangkau oleh petugas pajak, yang jumlahnya terbatas.
Begitu pula pembayar pajak pribadi.
Masih ada 40 jutaan pekerja yang sekarang belum membayar kewajibannya, meski gaji mereka sudah melebihi batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Keadaan ini semakin diperburuk oleh terbatasnya jumlah petugas pajak, sehingga potensi pajak itu tidak terurus.
Di pusat grosir Pasar Tanah Abang, Jakarta, misalnya, hanya ada dua petugas penagihan pajak.
Padahal di sana terdapat lebih dari 10 ribu pedagang.
Itulah pekerjaan rumah yang masih terbengkalai, dari meningkatkan kepatuhan membayar pajak hingga menyediakan petugas pajak yang cukup.
Belum lagi perlunya reformasi pengadilan pajak yang selama ini sering dikeluhkan masyarakat karena penuh dengan permainan kotor.
Siapa pun pemimpin setelah Presiden Yudhoyono nanti akan mengulang kesalahan yang sama bila terlalu sibuk membagi-bagi anggaran tapi melupakan urusan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara.
***** Opini/Tempo.co