Garut News ( Senin, 22/12 – 2014 ).

Jaksa Agung Muhammad Prasetya semestinya segera mengusut rekening gendut sejumlah kepala daerah. Semakin lama penyelidikan ditunda, semakin banyak waktu bagi pejabat untuk menyamarkan hartanya dengan segala cara.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sampai harus dua kali menyampaikan hasil pemeriksaan kepada Kejaksaan.
Lembaga ini sudah memberikan data sepuluh kepala daerah yang memiliki rekening tak wajar pada April 2012.
Belum lama ini PPATK perlu menyodorkannya lagi, seiring dengan pergantian Jaksa Agung dari Basrief Arief ke Prasetyo.
Sepuluh kepala daerah yang masuk daftar pemilik rekening gendut itu terdiri atas gubernur dan bupati. Kejaksaan mengungkap nilai total harta mencurigakan itu mencapai Rp 1 triliun.
Hanya, sejauh ini baru seorang kepala daerah yang benar-benar ditelusuri, yakni Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Ia diduga mendapat aliran dana US$ 4,5 juta dari sebuah perusahaan tambang di Hong Kong sepanjang 2010.
Kejaksaan Agung dikabarkan sudah mengirim penyelidik ke Hong Kong untuk membongkar dugaan ini.
Kejaksaan seharusnya segera bergerak pula menelusuri kepala daerah lain yang diduga memiliki harta tak wajar.
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin termasuk yang dikabarkan punya rekening jumbo. Begitu pula Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang, bekas Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, dan sejumlah bupati.
Jaksa mesti lebih pintar menelisiknya karena, selama ini, hampir semua petinggi itu membantah harta mereka berasal dari korupsi.
Pengusutan rekening jumbo amat penting lantaran hingga kini korupsi masih merajalela di banyak daerah.
Bahkan, menurut data Indonesia Corruption Watch, kasus korupsi sekarang justru lebih banyak terjadi di daerah.
Gubernur dan bupati cenderung menjadi raja-raja di daerah, sekaligus membangun dinasti politik untuk membentengi kekuasaannya.
Modus korupsi mereka sebetulnya sederhana. Banyak gubernur dan bupati yang diperkirakan mendapat suap dari berbagai bentuk perizinan di wilayahnya.
Jenis perizinan yang dimanfaatkan beragam, dari izin wisata, pembangunan gedung atau mal, pembukaan perkebunan, hingga izin pertambangan.
Tak sedikit pula yang mengkorupsi anggaran daerah lewat berbagai proyek di wilayahnya.
Hasil korupsi itu kemudian disamarkan dengan berbagai cara. Ada yang menggunakan nama keluarga, ada pula yang mendirikan bisnis atau perusahaan dan membeli properti dengan nama orang lain.
Hanya, semua cara ini akan mudah diendus bila Kejaksaan segera membongkarnya begitu mendapat laporan dari PPATK.
Kejaksaan seharusnya meringankan beban Komisi Pemberantasan Korupsi yang berat. Jumlah penyidik KPK amat terbatas dan lembaga ini belum memiliki cabang di daerah.
Peran Kejaksaan dalam memerangi korupsi bisa dimulai dengan membongkar rekening gendut kepala daerah.
Tak cukup hanya mengusut rekening Gubernur Nur Alam, Kejaksaan juga mesti menelisik harta pejabat daerah lainnya.
********
Opini/Tempo.co