Rekayasa Lingkungan untuk Pertanian Rumah Kaca

Rekayasa Lingkungan untuk Pertanian Rumah Kaca

787
0
SHARE

KOBE, Garut News ( Selasa, 02/12 – 2014 ).

Shingo Nagatomo di dalam rumah kaca menunjukkan benih bayam. (KOMPAS.COM/ LUSIA KUS ANNA).
Shingo Nagatomo di dalam rumah kaca menunjukkan benih bayam. (KOMPAS.COM/ LUSIA KUS ANNA).

Bertani dalam rumah kaca atau green house sudah diadopsi para petani, terutama agribisnis sayuran dan tanaman hias.

Meski demikian, perubahan cuaca yang dihadapi membuat hasil panen tidak maksimal sehingga pertanian dengan cara ini menjadi mahal. 

Rumah kaca atau green house merupakan bangunan yang terbuat dari bahan kaca atau plastik tebal yang menutupi seluruh permukaan bangunan, baik atap atau dindingnya.

Di dalamnya dilengkapi pengatur suhu dan distribusi air.

Pertanian dalam ruangan tertutup semacam itu memang memudahkan petani mengontrol lingkungan, tetapi biaya yang dikeluarkan sangat mahal karena adanya biaya membangun rumah kaca dan biaya operasional.

Salah satu metode pertanian yang kini sedang dikembangkan oleh Panasonic Eco Solutions adalah rumah kaca hidroponik.

Menurut Shingo Nagatomo, Senior Coordinator Agri Engineering Project Panasonic, rumah kaca hidroponik pada dasarnya menggabungkan antara pertanian tradisional dengan pertanian rumah kaca.

“Kami mengembangkan sistem rumah kaca yang sangat terkontrol, mulai dari pencahayaan, pengaturan kelembaban, sampai pengairan,” katanya saat ditemui di laboratorium pengembangan rumah kaca di Osaka, Jepang, Jumat (28/11/14).

Bahan-bahan yang dipakai untuk bangunan rumah kaca ini sama seperti pada rumah kaca konvensional. Salah satu hal yang membedakan rumah kaca hidroponik ini adalah tersedianya dua sensor, satu di dalam dan satu di luar rumah kaca untuk menyediakan lingkungan yang optimal bagi tanaman.

“Sensor di luar bisa mengecek suhu dan kelembaban udara. Berdasarkan informasi tersebut sistem secara otomatis akan mengatur berapa banyak air yang harus disemprot, atau perlu tidaknya tirai atap ditutup,” kata Nagatomo.

Pada sistem pencahayaan, misalnya pada pagi hari saat cahaya matahari dari arah timur lebih terang, maka bagian atap akan ditutup untuk mengurangi pancaran cahaya.

Sementara itu di musim panas, tirai akan memberikan efek bayangan sehingga tanaman lebih kuat. Pada rumah kaca konvensional, Nagatomo menilai energi yang terpakai cenderung boros.

“Normalnya rumah kaca akan mengendalikan kelembaban dan suhu, tapi banyak energi jadi terpakai. Dengan cara baru ini, pengaturan dan penggunaan air akan disesuaikan dengan tahap pertumbuhan tanaman, sehingga lebih hemat energi,” katanya.

Sistem yang serba otomatis tersebut juga akan membuat jumlah tenaga kerja bisa dihemat dan jam kerja yang dihabiskan di satu rumah kaca lebih sedikit.

Rumah kaca hidroponik tersebut sejauh ini sudah diuji coba untuk menanam bayam.

“Dengan kondisi lingkungan di Osaka, kami bisa memanen bayam 8 kali dalam setahun, dua kali lipat dari pertanian tradisional,” ujarnya.

Selain bayam, saat ini juga sedang diuji coba penanaman stroberi, tomat, dan beberapa tanaman herbal dari Jepang.

Sistem pertanian tersebut pertama kali diluncurkan pada April 2014 dan akan dipasarkan secara bertahap.

Untuk pembangunan rumah kaca dengan plastik seluas 50 meter persegi, dibutuhkan biaya sekitar 55 juta rupiah, dengan biaya operasional listrik pertahun mencapai sekitar 85 juta rupiah.

“Tentu saja tidak bisa dibandingkan secara langsung dengan pertanian tradisional karena ada biaya pembangunan rumah kaca dan juga biaya listrik. Namun pertanian tradisional juga butuh biaya yang tidak sedikit untuk tenaga kerja,” katanya.

Ia menambahkan, salah satu keunggulan sistem pertanian green house adalah tanaman bisa terus ditaman secara berkesinambungan sepanjang tahun.

“Kami juga memilih bayam karena para petani di sini mengeluh sulit menanam bayam di musim panas,” katanya.

********

Penulis : Lusia Kus Anna
Editor : Tri Wahono/Kompas.com

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY