– Yanto Musthofa, Anggota Majelis Pengurus Pusat ICMI
Jakarta, Garut News ( Rabu, 11/06 – 2014 ).

Visi dan misi kedua pasang calon presiden dan wakil presiden belum memperlihatkan suatu tawaran yang menjanjikan bagi dunia pendidikan.
Uraian konsep tentang arah pendidikan hanya dalam dua-tiga paragraf itu belum menyentuh esensi perubahan paradigmatik pendidikan yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini.
Satu pasangan lebih menitikberatkan pada aspek fasilitas pendanaan pendidikan.
Yang satunya menyinggung problem kurikulum, tapi belum secara kategoris melepaskan diri dari paradigma pendidikan yang berlaku saat ini.
Siapa pun pemegang otoritas pendidikan nanti harus menyentuh tataran paradigmatik agar terhindar dari kubangan rutinitas ganti-menteri-ganti-kurikulum dengan sederet akibatnya yang rutin pula: debat tanpa ujung, kebingungan pelaksana di bawah, dan pemborosan energi secara sia-sia, terutama murid.
Bila godaan untuk membuat kebijakan baru tak terbendung, ujilah inisiatif itu dengan pertanyaan dasar: sejalankah dengan pengertian, prinsip, fungsi, dan tujuan pendidikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003?
Pengertian: “…usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan SUASANA BELAJAR dan PROSES PEMBELAJARAN agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya…” dst.
Tujuan: “…menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Tak perlu menjadi peneliti andal untuk melihat betapa iklim persekolahan sekolah kita saat ini nyaris memusnahkan elemen-elemen dasar pendidikan itu.
Persekolahan telah lama kehilangan roh pembelajar.
Suasana belajar dan proses pembelajaran tergusur oleh orkestra ambisi orangtua-guru-sekolah-pejabat dalam satu lagu tunggal: mencapai angka tinggi nilai ujian akhir di setiap jenjang.
Sepanjang hayat, seluruh energi dan potensi murid dikerdilkan hanya untuk menuju tiga hari penentu nasib, menjadi petarung ujian terbaik (best test-taker).
Tak ada ruang untuk memandang diri, kehidupan dan alam di sekitarnya, lalu merumuskan secara mandiri bekal kehidupan (life skills) apa saja yang perlu dia raih untuk mengaktualisasi peran dirinya.
Tak ada pilihan lain karena sistem persekolahan telah membagi ruang-ruang nasib masa depan berdasarkan angka-angka ujian nasional.
Inilah situasi di mana ujian lebih berarti dari pembelajaran.
Ujian, yang seharusnya lebih merupakan instrumen pengukur akuntabilitas penyelenggara pendidikan, telah dialihkan menjadi beban intimidasi bagi peserta didik menyangkut masa depan mereka.
Ujian menjadi semacam perebutan tiket undian nasib masa depan bagi anak.
Dalam iklim yang demikian, tak relevan lagi pertanyaan apakah sistem pendidikan sejalan dengan tujuan pendidikan seperti disebutkan di atas.
Ada dua ekses alamiah yang mustahil ditepis.
Pertama, para pihak dalam orkestra ambisi akan menggunakan segala cara dan energi untuk memastikan angka-angka nilai ujian tertinggi.
Bila dicermati lebih dalam dan dengan jujur, di sinilah salah satu sumber utama kehancuran moral bangsa ini.
Kedua, kecuali sekelompok kecil murid yang sukses menjadi the best test-takers, maka selebihnya telah diterima (taken-for-granted) menjadi limbah pendidikan.
Kelompok besar yang tersingkir itu berlabel cacat (flawed) versi kompetisi resmi dan tidak layak masuk sekolah atau universitas unggulan.
Maka, bila di kemudian hari ada sebagian limbah pendidikan yang bangkit menyadari jati dirinya dan menemukan jalan hidup sukses, bisa dipastikan itu tidak ada hubungannya dengan sistem pendidikan.
Semoga pemegang otoritas pendidikan baru nanti berlapang hati mau mengembalikan sekolah sebagai penyedia tempat sekaligus proses pembelajaran.
Untuk itu, ada satu pertanyaan yang lebih mendasar yang perlu dijawab, yaitu apakah pendidikan nasional akan tetap berparadigma selective-system schooling berikut perangkat tes terstandarkan (standardized testing) yang intimidatif dan distortif itu, atau beralih ke paradigma comprehensive system schooling?
Model yang disebut belakangan mengedepankan local autonomy sekolah yang berbasis pada kebutuhan peserta didik dan kekhasan daerah.
Dalam jumlah yang sangat minoritas, model ini sudah ada dan tumbuh sehat di Indonesia.
Salah satunya adalah paradigma Metode Sentra/Pembelajaran Berbasis Proyek yang hampir dua dekade dieksperimenkan di negeri ini.
Yang menarik, walau “terpaksa” tetap mengikuti mandatory testing berupa ujian nasional, sekolah dengan model itu sudah terbukti tak punya masalah dengan target angka-angka.
Keunggulannya, tidak ada lulusan yang dicampakkan dengan label pecundang.
Sejak dini setiap anak membangun kepercayaan diri sebagai makhluk yang sudah dibekali Sang Penciptanya.
Dalam suasana bahagia, setiap anak bergairah mengembangkan diri untuk menjemput peran yang pasti tersedia baginya.
Adakah kemuliaan pendidikan yang tersisa jika di hari pertama sekolah anak sudah menatap intimidasi nasib menjadi limbah pendidikan? *
******
Kolom/Artikel : Tempo.co