Pulang

Pulang

830
0
SHARE
Ilustrasi.

Putu Setia @mpujayaprema

Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat

Garut News ( Sabtu, 08/10 – 2016 ).

Ilustrasi.
Ilustrasi, Tuntun Pulang.

Ramai diperbincangkan surat terbuka Dr Marwah Daud Ibrahim yang diunggah di Facebook. Diberi judul “Izinkan Saya Melanjutkan Perjalanan”, dalam surat itu cendekiawan muslim ini bertutur tentang tekadnya meneruskan perjalanan spiritual setelah Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi menjadi heboh. Marwah adalah ketua yayasan padepokan itu.

Surat ini seolah menjawab permohonan “adindanya”, politikus Akbar Faisal, yang meminta Marwah “pulang”. Marwah dan Akbar, yang berasal dari daerah yang sama, Sulawesi Selatan, mengaku akrab sebagai junior dan senior. Permohonan “pulang” itu sudah diunggah Faisal di akun Twitter-nya sebelum diulang saat keduanya bertemu di acara talk show televisi.

Meski tak dirinci arti “pulang”, orang tahu Faisal Akbar ingin Marwah kembali ke habitatnya, dunia intelektual. Marwah adalah aktivis yang malang-melintang sejak berkuliah di Universitas Hasanuddin, Makassar. Puncak kariernya sebagai politikus adalah anggota DPR, sedangkan di ranah agama dia adalah pengurus Majelis Ulama Indonesia.

Marwah menolak “pulang” dan justru menyiratkan “izinkan saya melanjutkan perjalanan”. Dia menyebut perjuangannya saat ini “jauh lebih tinggi dan mulia dari sekadar membela guru besar padepokan, Y.M. Dimas Kanjeng Taat Pribadi”.

Dia melanjutkan: Terus terang, sebelum dan sejak awal reformasi sampai detik ini, saya merasa “diperjalankan” dan “dipertemukan” oleh Allah SWT dengan orang “hebat” dan “berilmu” di banyak pulau Indonesia dan terutama di Pulau Jawa yang punya kemampuan setara dengan Dimas Kanjeng.

Keyakinan Marwah harus dihormati. Bagaimana memaksa orang yang asyik berjalan disuruh pulang? Apalagi “diperjalankan”, yang berarti ada orang atau sesuatu yang memaksa dia berjalan, dan lalu “dipertemukan” (dipaksa untuk bertemu) dengan orang hebat dan berilmu.

Dari awal, Marwah sudah menyebutkan dia dengan hati terbuka, bahagia, ikhlas, tulus, dan sepenuh hati menerima dukungan ataupun hujatan sebagai rasa cinta dan sayang.

Coba baca lagi penggalan tulisan Marwah ini. “Pembelaan saya terhadap Mas Kanjeng adalah pembelaan menyangkut sebuah proses pencarian, penemuan, dan atau peneguhan “ideologi” untuk sebuah Peradaban Baru di abad ke-21.” Kata “ideologi” ditulis dalam tanda petik, semakin multitafsir, bahkan sulit ditebak apa maksudnya.

Yang jadi masalah: apakah Marwah harus “pulang” ataukah diizinkan terus “berjalan”? Lalu, adakah yang dirugikan kalau dia terus “berjalan”? Ini akan menjadi perdebatan yang tak pernah selesai sepanjang yang diperbincangkan adalah keyakinan.

Dan jika keyakinan itu dalam bungkus alam gaib, akan lebih runyam lagi kalau yang mendebat adalah orang yang tak bersentuhan dengan alam gaib itu. Orang bilang “jaka sembung, tidak nyambung”.

Tapi ada yang bisa digugat. Jika sebuah keyakinan, termasuk yang gaib, berdampak buruk terhadap masyarakat, maka persoalannya adalah “urusan duniawi”. Kalau Dimas Kanjeng terbukti memerintahkan pembunuhan dan penipuan dengan dalih penggandaan uang, itu adalah tindak pidana.

Marwah sebagai ketua yayasan padepokan memang sangat layak untuk diperiksa, sejauh mana dia tahu rencana pembunuhan itu. Juga cerita tentang uang dua koper di emperan rumahnya, harus diusut kebenarannya. Kalau uang itu terkait dengan penipuan Dimas Kanjeng, maka Marwah turut serta menikmati hasil penipuan.

Dalam kasus inilah Marwah layak untuk diminta “pulang” dan diperiksa atas nama hukum, karena ia di jalan yang sesat.

Sayang, surat terbuka Marwah Daud Ibrahim tak menyinggung masalah yang menjurus pidana dari tokoh yang ia sebut “hebat” seperti Dimas Kanjeng.

******

Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY