– Eh Kartanegara, Wartawan
Jakarta, Garut News ( Senin, 30/03 – 2015 ).

Para perwira kroco ini kebalikan dari badut di panggung sirkus yang lazimnya kocak, riang, lincah, dan menghibur, terutama bagi penonton anak-anak.
Di balik outward appearance yang stereotip-pakaian kedodoran, tampang beloon, coreng-moreng, serba gugup, dan gerak tubuh yang selalu keliru-sejatinya mereka aktor-aktor kampiun.
Merekalah yang mengantar penonton menikmati momen-momen paling mendebarkan pada puncak pertunjukan.
Menyaksikan sirkus tak hanya menikmati ketakjuban gerak, kelenturan akrobatik tubuh, humor, puisi cahaya, seni rupa, berbagai warna visual dan kejutan seni teater, tapi juga filsafat kerendahhatian.
Haram hukumnya bagi seorang badut untuk menonjol-nonjolkan diri paling hebat. Kearifan inilah yang membedakan badut dengan ulah para perwira kroco di panggung politik kita.

Mereka melihat badut dengan “pandangan terbalik” (bukankah “hobi” mereka memang melihat segala sesuatu dengan cara terbalik?). Sementara derajat dan martabat seorang badut sirkus ditentukan oleh kearifannya menyembunyikan kehebatan dan kerendahhatiannya, para perwira kroco malah merasa perlu memamerkan kekerdilan yang dibungkus penampilan serba perlente.
Singkatnya, penampilan dan lagaknya perwira; nalar, kelakuan, dan moralnya tak lebih dari kroco.
Jangan pernah mengira “endemi” semacam itu sebatas main-main atau sekadar kegenitan bercitra-ria. Meminjam bahasa filsuf Jean Baudrillard, antagonisme kecabulan figur semacam itu-sejak dari niatnya-bisa berdampak pada kezaliman sosial.
Akan lebih parah jika perwira kroco ternyata pejabat tinggi, karena tindakan malfeasance-kejahatan jabatan (hukum) yang serius-sulit dihindari.
Dari berbagai literatur kebudayaan, kita diperkenalkan pada simbol dan nilai (Kuntowijoyo, 2002). Nilai-nilai budaya tidak kasatmata, sementara simbol budaya yang merupakan perwujudan nilai itulah yang kasatmata.
Nilai budaya dapat dirinci dalam etika, persepsi, sensibilitas, dan estetika.
Dalam kasus perwira kroco, nilai-nilai yang semestinya menjadi acuan kemuliaan terkacaukan oleh tindakannya yang justru anti-budaya.
Tak perlu heran jika, misalnya, kita saksikan anggota legislatif menjungkirkan meja sidang dan bangga menunjukkan tingkahnya sebagai preman jalanan. Para penegak hukum yang diamanati memuliakan hukum, malah meletakkannya di bawah sepatu.
Kisruh konflik para penegak hukum, yang efeknya bagai virus iblis cepat menyebar ke berbagai arah, menunjukkan kelakuan perwira kroco sudah menjadi epidemi yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah politik kita.
Berjuta teriakan anti-korupsi tak akan didengar oleh mereka, yang menurut Baudrillard, memang menakdirkan diri abnormal dalam permainan kecabulan. Salah satu bukti yang mudah dibaca; penegak hukum yang justru tak berani menghadapi kasus hukum.
Dalam kasus lain, dunia hukum kita sejatinya sedang dipermalukan (kalau masih punya rasa malu) oleh kasus hukum yang menjerat dua nenek, Asyani, 65 tahun, di Situbondo, Jawa Timur, dan Meri, 85 tahun, di Tegal, Jawa Tengah.
Merekalah wong cilik berjiwa besar (keperwiraan), yang berani mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di pengadilan. Bukan perwira, tapi bermental cilik.
********
Kolom/Artikel Tempo.co