Garut News ( Selasa, 04/02 – 2014 ).
(Foto: John Doddy Hidayat).
Itulah kalimat pembuka sebuah tulisan berjudul “Bandung, the City of Pigs” detik ini di-retweet banyak pengguna Twitter.
Tulisan itu termuat di blog venusgotgonorrhea.wordpress.com ditulis warga Bulgaria kini tinggal di Bandung, bernama Inna Savova.
Dalam tulisannya, Savova mengeluhkan betapa Bandung dipenuhi sampah, sementara warganya tak peduli, dan tetap merasa nyaman hidup di lingkungan kotor.
Tempat sampah tak digunakan
Namun, bukannya justru memakainya, warga golongan pertama justru merusak dan menjual logam bahan tempat sampah itu.
Mengetahui perilaku warga, pemerintah kota berupaya mencegah perusakan, menambahkan semen cor saat menaruh tempat sampah itu.
Namun, warga yang “lebih aktif”, tulis Savova, tak kehilangan akal.
Mereka tetap merusaknya dengan kemarahan.
Ada juga warga disebut Savova “tak terlalu bersemangat”, memilih membawa kantong plastik ke rumah.
Warga lain disebutnya “pasifis” memilih membuang sampah sembarangan di lokasi berdekatan dengan tempat sampah atawa di jalan, dan di sekitar rumah.
“Berubah menjadi sampah membusuk, bau, membentuk tumpukan lendir, di tempat digunakan anak-anak bermain,” tulis Savova.
Taman penuh sampah
Savova mengajak anaknya berjalan-jalan ke taman dekat sebuah kantor pemerintah.
Ia menyebutnya “Grumpy Scientist Place”, alih-alih tak ingin menyebut nama tempat sebenarnya.
Pada hari kerja, taman itu hanya berisi orang paruh baya.
Namun, pada akhir pekan, ada banyak anak muda menghabiskan akhir pekan dengan “work out” alias makan.
Pada suatu Selasa, Savova mengunjungi taman itu, dan menjumpai betapa tempat tersebut dipenuhi sampah.
“Tempat itu ditutupi sampah, cup mi instan, botol air minum, kotak jus dan usus, bungkus permen, semua jenis plastik, dan beberapa pasang sandal tak berpemilik,” tulis Savova.
Adanya sandal tak berpemilik membuat Savova heran.
“Saya tak habis pikir bagaimana bisa kehilangan alas kaki bagus dan tak menyadarinya, berjalan kaki telanjang,” katanya.
Memersalahkan, tak bertanggung jawab
Ketika menjumpai lingkungan kotor, Savova mengatakan banyak warga menyalahkan pihak lain, seperti pemerintah, dan bahkan komunisme.
“Tak ada berhenti sejenak dan berpikir itu salah mereka sendiri. Beberapa orang berpikir mereka hidup di lingkungan kotor lantaran miskin. Itu absurd,” tulis Savova.
“Biarkan saya mengingatkan kamu tentang banyaknya pengungsi di Somalia. Mereka tak kotor sebab mereka tak membuang sesuatu. Bukan kemiskinan sebabnya,” imbuhnya.
Savova menganggap banyak warga Bandung tak bertanggung jawab mengelola lingkungannya sendiri.
“Bagaimana mereka tak berpikir tentang alam, kualitas hidup, pemanasan global, dan kebersihan dasar, bahkan hewan saja tak membuang kotoran di tempat tidurnya,” sambungnya.
Memulung dan ditertawakan
Savova mencoba membuat perubahan.
Pada Rabu (16/01-2014), ia membawa kantong plastik berukuran 1,5 x 1 meter, membersihkan sampah.
Ia menceritakan, dalam jarak 200 meter saja, kantong plastik besar dibawanya penuh sampah.
Ketika mengumpulkan sampah, ia mendapat beragam respons warga melihatnya.
Ternyata, cuma sedikit merasa malu.
Ia katakan, ada warga ternyata justru menertawakannya.
“Karena membersihkan sampah tugas orang miskin, bodoh, dan tak berpendidikan, sedangkan orang terhormat hanya membuang sampahnya dan pergi,” ungkapnya.
Ada pula orang menjerit ketika melihat aksi Savova, menganggap apa dilakukannya kotor.
Sampah tak seharusnya disentuh.
Selesai membersihkan sampah itu, Savova beristirahat bersama anaknya.
Namun, ia tak bisa tenang lantaran di depan tempatnya tinggal, ada area terbuka dengan pohon pisang juga penuh sampah.
Ketika anaknya tidur siang, Savova memulung sampah dan gelas kaca di area itu.
Anak-anak berlari telanjang kaki dan melihatnya, sementara orangtuanya justru diam-diam menghakiminya.
Savova mengaku tahu ia tak bisa membersihkan sendirian.
“Tujuan saya membuat orang merasa malu, bahwa saya, dengan kantong dan sepasang sarung tangan, bisa membersihkan sampah dalam satu jam,” katanya.
Beragam respons
Tulisan Savova menuai beragam tanggapan, hingga Senin (03/01-2014) mencapai 25.000 pembaca.
Angka ini cukup tinggi untuk sebuah tulisan di blog.
Beberapa masalah lain juga diungkap dalam tulisan itu, seperti banyaknya tikus, dan konsumsi air.
Beberapa orang sangat setuju dengan kritik Savova.
Yang lain setuju, tetapi sekaligus menganggap tulisan itu terlalu ofensif, apalagi saat menyebut “city of pigs”.
Di Twitter, tulisan Savova banyak di-retweet.
Banyak pengguna me-mention Ridwan Kamil, wali kota baru Bandung.
Tentang tulisan dianggap ofensif, Savova mengatakan hal itu dilakukan agar warga mengingat apa dikatakannya.
Ia menantang warga Bandung mengubah perilakunya, dan membuktikan apa dikatakannya salah.
Savova berkali-kali berkunjung ke Indonesia.
Ia 3,5 tahun tinggal di Bandung.
Ia selama enam bulan tinggal di kawasan Setiabudi, 1,5 tahun di Antapani, dan 1,5 tahun di Ujungberung.
________________________________________
Penulis : Yunanto Wiji Utomo/Kompas.com