Penggusuran Bukit Duri

0
109 views
Jakarta.

Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat

Garut News ( Kamis, 30/09 – 2016 ).

Jakarta.
Jakarta.

Penggusuran Bukit Duri jelas tanpa landasan hukum. Meski pemerintah berdalih membongkar sesuai dengan prosedur karena telah memberikan surat peringatan kepada warga, faktanya kasus Bukit Duri masih berlangsung di pengadilan.

Pada 10 Mei lalu penduduk Bukit Duri mengajukan gugatan class action terhadap Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kota Jakarta Selatan, dan Badan Pertanahan Nasional.

Sampai sekarang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah sembilan kali menggelar sidang. Selain gugatan class action, penduduk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan surat perintah bongkar yang dikeluarkan Satpol PP Jakarta Selatan. Yang ini juga belum inkrah.

Adalah mengherankan mengapa pemerintah tidak menunda penggusuran sampai ada putusan tetap pengadilan. Alasan berpacu dengan hujan lebat Jakarta kurang prinsipiil.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bermaksud membangun sheet pile sepanjang 250 meter di tepi Kali Ciliwung Bukit Duri agar, tatkala memasuki puncak musim hujan pada Desember, kawasan itu tidak banjir. Maka, permukiman liar yang menggerus trase sungai harus segera dimusnahkan.

Memang yang digusur terutama adalah warga RT 11, 12, dan 15 di RW 10 Bukit Duri, Kecamatan Tebet, yang tak punya sertifikat dan rumahnya berada di bantaran. Tapi penggusuran merupakan masalah sensitif.

Bahwa hanya sekitar 40 kepala keluarga yang bertahan dari sekitar 363 KK yang tinggal di wilayah itu, dan selebihnya bersedia dipindahkan ke rumah susun sederhana sewa Rawa Bebek di Cakung, bukan berarti warga ikhlas. Mereka mengaku tidak bisa menolak program pemerintah karena terpaksa dan takut.

Pemerintah seolah-olah tidak mau belajar dari banyak penggusuran dalam dua tahun terakhir, mulai dari Kampung Pulo, Bidaracina, Pinangsia, Menteng Dalam, Waduk Pluit, Pusat Pasar Ikan, sampai Kalijodo. Problem seperti rumah susun terjadi lagi.

Banyak warga mengeluhkan biaya sewa rumah susun Rawa Bebek, Cakung, Jakarta, tipe 36 yang mencapai Rp 1,2 juta per bulan. Juga lokasinya yang jauh dari sekolah anak-anak dan tempat kerja.

Selain itu, bagaimana rumah susun tersebut hanya dapat ditinggali satu kepala keluarga, sementara banyak penduduk yang satu rumahnya ditinggali lebih dari satu KK.

Selama ini pemerintah mengabaikan solusi alternatif. Komunitas Ciliwung Merdeka, misalnya, pernah mengajukan konsep “kampung susun manusiawi” di dekat Bukit Duri. Hunian vertikal ini dirancang dengan model panggung. Model panggung dipilih untuk adaptasi terhadap kondisi alam, sehingga penduduk tidak perlu dijauhkan dari tempat tinggalnya ketika terjadi banjir.

Ternyata pemerintah terlalu memaksakan sikapnya. Hampir di tiap penggusuran, pemerintah selalu ingin menang sendiri. Pemaksaan penggunaan cara-cara arogan dalam menjalankan roda pemerintahan di DKI dengan dalih menegakkan aturan formal makin terasa tidak manusiawi.

Apabila pengadilan memenangkan gugatan class action warga Bukit Duri , masalah ini akan makin berlarut-larut.

**********

Opini Tempo.co

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here