REDI PANUJU, dosen
Garut News ( Kamis, 04/12 – 2014 ).

Janji Presiden Jokowi saat kampanye dulu untuk memperketat penggunaan uang negara mulai direalisasi.
Awalnya, instansi pemerintah dilarang mengadakan rapat dan kegiatan lain di hotel. Pada 2015, tampaknya pemerintah akan lebih “kejam” lagi dengan menerapkan standar honor kegiatan dan perjalanan dinas dengan nominal “terjun payung”.
Para pejabat yang selama ini senang menghabiskan waktunya untuk melakukan kunjungan kerja dan studi banding ke luar daerah sepertinya bakal tiarap dan memilih ngantor di tempat masing-masing.
Jumlah uang perjalanan dinas, yang selama ini dianggap sebagai bagian dari pendapatan, sangat tidak memadai.
Misalnya, pejabat eselon I dan pimpinan DPRD Provinsi Jawa Timur yang berkunjung ke Bangkalan hanya mendapat uang harian sebesar Rp 215 ribu.
Seorang Gubernur yang berperjalanan dinas ke Pasuruan cuma akan menerima uang Rp 245 ribu. Semakin rendah eselon seseorang, semakin kecil jumlah uang hariannya.
Segi positif kebijakan pengetatan ikat pinggang keuangan negara ini adalah potensi terjadinya penghematan yang luar biasa, sehingga uang negara bisa dialokasikan untuk membiayai kebutuhan rakyat miskin di sektor kesehatan, pendidikan, industri kreatif, dan sektor nelayan.
Maski demikian, harus diwaspadai multiplayer effect yang akan terjadi, baik yang disebabkan oleh menurunnya motivasi kerja di kalangan aparatur negara maupun implikasi ekonomi dan politik.
Dengan insentif yang rendah, sudah pasti pejabat enggan melayani publik.
Sebagai contoh, penulis mengilustrasikan proses layanan publik dalam bidang penyiaran, yakni keputusan akhir soal pemberian IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiaran)-untuk Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), dan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK)-ada di Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Sentralisme kebijakan publik dalam sektor penyiaran ini sesungguhnya bisa dilimpahkan ke pemerintah daerah karena sering kali biaya yang dikeluarkan untuk mengurus IPP tidak sesuai dengan manfaatnya.
Coba bayangkan, untuk mengurus izin Lembaga Penyiaran Komunitas, wilayah layanannya hanya 2,5 kilometer dari pusat siaran dan tidak boleh mencari iklan.
Ada syarat-syarat yang cukup pelik, seperti pernyataan dukungan 250 warga, nomor pokok wajib pajak, dan pembayaran pajak frekuensi.
Semua itu harus melalui izin dari menteri.
Pertanyaan krusialnya: mengapa urusan yang sebenarnya dapat diselesaikan di tingkat daerah mesti ditarik ke pusat?
Sekarang, ketika pejabat daerah enggan ke pusat dan pejabat pusat enggan ke daerah, saatnya pemerintah melakukan dekonsentrasi untuk berbagai urusan dengan melimpahkannya ke daerah.
Bila sentralisasi pemerintah masih kental, sementara koordinasi pusat-daerah melemah, pelayanan publik akan banyak tertunda.
Nah, kondisi seperti inilah yang penulis khawatirkan menciptakan celah korupsi bagi para pemohon pelayanan, yang berpotensi merayu pejabat daerah untuk “membiayai” perjalanan dinasnya.
Meski pada awal pelaksanaan pengetatan ikat pinggang ini akan terjadi protes, resistansi, dan sebagainya, kebijakan ini harus dipahami sebagai cara jitu Jokowi untuk mendorong deurbanisasi dan lebih memperhatikan nasib wong cilik. *
********
Kolom/Artikel Tempo.co