“Makin Diperparah Ancaman Serius Serangan Ragam Jenis Penyakit”
Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 21/03 – 2016 ).

Penduduk Desa Sindangsari termasuk 28 kepala keluarga atawa sekitar 140 warga RT.03/04 di Kampung Selaawi Kecamatan Cisompet, Garut, Jawa Barat.
Kini berkondisi dihantui kian parah meluasnya rekahan pergerakan tanah.
Sehingga mendesak Pemkab kabupaten setempat, bisa segera merelokasi pemukiman mereka ke lokasi aman.
Maupun pada kawasan Perkebunan Neglasari.
Pemuka masyarakat Kampung Selaawi, Ade Ardiansyah katakan sejak 2010 terjadi pergerakan tanah di perkampungannya tersebut, dan pada 2016 ini dinilai terus meluas.

Sehingga sejak 2010 mengajukan relokasi melalui pemerintahan kecamatan tersebut, namun sampai sekarang pun masih belum mendapatkan tanggapan.
Padahal di seputar kawasan Perkebunan Neglasari terdapat lahan yang ideal untuk lokasi relokasi seluas sekitar dua hektare, ungkap Ade Artdiansyah kepada Garut News di kediamannya Kampung Selaawi, Ahad (20/03-2016).
Dikatakan, meski penduduk di perkampungan itu umumnya masih menempati rumahnya masing-masing, tetapi semakin dihantui kian parahnya pergerakan tanah, lantaran sebagian besar rumah warga berkondisi retak bahkan terdapat yang nyaris rubuh.

Lokasi perkampungan ini, terletak sekitar empat kilometer arah selatan dari kantor Kecamatan Cisompet, dengan kondisi lintasan retakan tanahnya kian meluas.
Juga antara lain mengakibatkan bentangan kabel listrik kian menegang, yang hingga kini belum dilakukan pembenahan, meski kondisi ini dilaporkan pada pihak PLN.
“Makin Diperparah Ancaman Serius Serangan Ragam Jenis Penyakit”
– Dalam pada itu, serangan ragam jenis penyakit mengancam korban dampak bencana pergerakan tanah hingga kini masih berdomisili pada lokasi pengungsian di Dusun Ciawi Sindangsari Cisompet, selatan Kabupaten Garut.

Selama sebulan lebih mendiami tempat pengungsian berfasilitas tak memadai, menjadikan kondisi kesehatan tubuh mereka rawan terserang penyakit. Terutama anak-anak turut orang tuanya di tempat nyaris pada alam terbuka lantaran kurangnya tenda.
Diperparah minimnya jumlah alas tidur, serta fasilitas mandi cuci kakus (MCK), serta obat-obatan dinilai kurang.
Mereka juga resah dan gelisah, sebab masih belum terdapatnya kepastian Pemkab Garut merealisasikan relokasi pasca-bencana pergerakan tanah.
“Siang hari warga bisa di luar secara bergantian. Tetapi malam hari, apalagi hujan, tinggal di tenda pun tak tenang karena beratap bocor. Padahal katanya tenda bantuan pemerintah ini baru, namun kualitasnya seperti ini,” ungkap Ketua RT 04/05 Dusun Ciawi, Engkus, Ahad (20/03-2016).

Satu tenda pengungsian berukuran sekitar 4 x 3 meter rata-rata dihuni 2-3 kepala keluarga (KK), bahkan ada yang hingga 4 KK. Mereka diberi jatuh makan satu kali per hari bermenu seadanya.
Maka warga berharap Pemkab memerhatikan kondisinya. Terutama semakin mendesaknya kebutuhan tambahan tenda, MCK, dan obat-obatan. Demikian juga realisasi relokasi warga ke tempat aman.
“Yang paling mendesak, kita butuh tenda tahan panas maupun hujan serta obat-obatan. Soalnya banyak anak mengalami gejala sakit flu dan batuk. Untuk jangka panjang, butuh lahan relokasi. Kami siap direlokasi di lahan mana pun,” imbuh Arifin, salah seorang warga.

Menurut penanggung jawab posko pengungsi, Sumpena Sumaryana, jumlah pengungsi mencapai 91 KK dengan 261 orang. Mereka berasal dari lingkungan RT 04, 05, 06 RW 05.
Mereka pun, terpaksa mengungsi sejak 20 Februari 2016, menyusul pergerakan tanah terus terjadi di daerah tempat tinggalnya. Kebanyakan warga berprofesi sebagai buruh tani.
“Warga Kampung Iklim Juga Meradang”
Dilaporkan pula. Warga Kampung Iklim dan sekitarnya di Kelurahan Margawati Kecamatan Garut Kota mengeluhkan tak ada perhatian Pemkab. Terutama mengenai kerusakan jalan sejak awal tahun lalu.

Lintasan jalan beraspal sejauh 2,5 meter lebih menghubungkan Kampung Iklim dengan Kampung Simarugul berkondisi rusak tergerus longsor berkedalaman sekitar 30 meter pada awal 2015 lalu.
Tetapi ironis, hingga kini tak ada tanda-tanda segera dilakukan perbaikan. Bahkan sekadar sarana pengamanan bagi para pengendara maupun pejalan kaki melintasi jalan rawan kecelakaan tersebut pun, tak ada atawa nihil.
Padahal selama setahun terakhir, delapan penduduk meninggal dunia akibat terjatuh ke jurang tersebut saat melintas. Hal itu terjadi akibat tidak ada pembatas bahu jalan di lokasi itu.
Longsor juga menggerus dan menimbun sedikitnya sepuluh hektare lahan sawah produktif milik warga.

“Bagaimana mau diperbaiki, pejabat terkait saja belum pernah datang ke lokasi longsor. Padahal kejadiannya sejak setahun lalu, dan Kampung Iklim merupakan salah satu kampung percontohan di Kabupaten Garut. Bahkan mendapat penghargaan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) 2015,” ungkap Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kampung Iklim, Lili, Ahad (20/03-2016).
Sangat diharapkan Pemkab segera memerbaiki jalan rusak tersebut. Menurutnya pula,kondisi lintasan jalan itu sangat rawan kecelakaan.
“Apalagi pada malam hari lantaran tak ada penerangan sama sekali,” ungkapnya.

Keluhan senada dikemukakan salah seorang tokoh pemuda setempat, Yadi. Dikemukakannya, jalan itu dibuat masyarakat secara swadaya. Anggaran pembangunan jalan sepanjang sekitar tiga kilometer itu pun bersumber hasil iuran warga, ditambah bantuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
“Sebaiknya pemerintah daerah atau dinas terkait turun langsung meninjau lokasi. Bagaimana berbahayanya kondisi jalan ini, apalagi saat hujan deras, terutama di malam hari,” imbuh Yadi.
********
( nz, jdh ).