
Putu Setia
@mpujayaprema
Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Sabtu, 22/10 – 2016 ).

Tulisan “padepokan” di beranda rumah Romo Imam sudah tak ada lagi. Kata Romo, sejak ada kasus di Padepokan Dimas Kanjeng, ia merasa tak enak dengan kata “padepokan” itu. “Tadinya saya pikir diganti dengan tulisan Rumah Budaya,” kata Romo.
“Itu bagus. Apalagi ada perpustakaan dan sering orang kumpul-kumpul di sini,” kata saya. Tapi Romo menjawab: “Saya takut dituduh pencitraan. Kata ini sudah mendapat label negatif. Padahal setiap orang wajar ingin mengubah citranya menjadi lebih baik. Pencitraan itu positif; berlomba untuk kebaikan itu mulia.”
Saya katakan: “Jangan terpengaruh omongan para politikus, Romo. Mereka selalu menuduh Presiden Jokowi melakukan pencitraan, bahkan selama dua tahun menjabat pencitraan melulu. Penilaian itu pangkalnya ada kekecewaan akut karena kalah dalam pemilihan presiden tempo hari. Ada kejengkelan yang tak sembuh-sembuh. Apa pun yang dilakukan Jokowi pasti disebut pencitraan.”
Romo mengangguk. “Pencitraan atau tidak juga menyangkut budaya dan kebiasaan hidup seseorang,” katanya. “Selama ini seorang presiden pasti mendapat pelayanan yang luar biasa. Gerimis sedikit ada yang memayungi. Kacamatanya dibawa ajudan. Tak ada pula presiden yang melangkah di jalan becek, apalagi naik tangga periksa bak air. Berpakaian selalu rapi, bagaimana berjalan, berbicara, gerak tangannya seperti apa, semuanya dikelola berdasarkan etika yang ada bukunya. Ibu calon Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno punya kursus untuk pencitraan itu.”
Romo tertawa sejenak. Saya jadi ingat Mien Uno yang dimaksudkan Romo. Juga ingat Ibu Mooryati Sudibyo, yang pernah memberi tahu saya bagaimana bersikap jika menjadi orang penting dalam sorotan publik. “Jokowi menyimpang dari tata etika seorang presiden yang selama berpuluh tahun disaksikan rakyat. Tapi Jokowi melakukannya secara alami, tidak dibuat-buat. Ia memegang payung sendiri tatkala gerimis. Pergi ke genangan air untuk membasuh muka, padahal presiden sebelumnya mustahil membasuh muka di depan umum. Kalaupun cuma cuci tangan, airnya dari baskom yang jernih, plus tersedia handuk yang baru.”
Romo memotong ucapan saya. “Anehnya juga kebijakan Jokowi pun dianggap pencitraan. Misalnya soal harga bahan bakar minyak yang harus sama di Papua dan di Jawa. Jokowi mungkin berhitung, dengan harga yang sama, ekonomi bergerak, investor datang, Papua berkembang. Memang ada subsidi sampai delapan ratus miliar rupiah, tapi itu tak mengurangi keuntungan Pertamina yang puluhan triliun rupiah. Presiden sebelumnya kebijakannya beda. Pertamina harus untung sebesar-besarnya, untuk apa jual minyak di Papua dengan merugi? Kalaupun Jokowi harus dikritisi soal ini, sebut saja: ‘hati-hati dengan subsidi membengkak di saat anggaran bermasalah’. Jangan pakai omongan ‘ah, Jokowi melakukan pencitraan di Papua.”
Kini saya yang mengangguk. Dan Romo meneruskan: “Memang, jangan sampai pencitraan itu kebablasan. Setiap status atau jabatan ada batas etikanya. Pendeta punya etika yang disebut sesana kewikon, tak bisa bercelana pendek sambil menyapu meski itu di halaman rumahnya sendiri. Raja punya sesana keprabon yang layak dijadikan acuan etika presiden. Misalnya, ketika menerima pasukan kehormatan lalu hujan turun, tak bisa presiden membawa payungnya sendiri. Atau tiba-tiba melepas sepatunya yang kotor di saat acara resmi.”
Saya memotong: “Kalau presiden membeli sepatu di pasar swalayan, pencitraan atau bukan, Romo?” Romo tertawa: “Tergantung niat, kalau ngajak-ngajak wartawan untuk pamer, mungkin pencitraan.”
*********
Tempo.co