Garut News ( Rabu, 24/09 – 2014 ).

Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diharapkan berani mencabut hak politik Anas Urbaningrum. Kendati muncul penolakan, penerapan pidana tambahan ini merupakan cara paling pas untuk memperberat hukuman.
Apalagi Mahkamah Agung telah “merestui”-nya.
Penolakan itu antara lain datang dari Anas sendiri. Dalam pleidoinya, mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini menilai pencabutan hak politik merupakan puncak dari tuntutan jaksa.
Anas, yang dituntut hukuman 15 tahun penjara, terkesan ingin membawa perkaranya ke arah politik. Argumen terdakwa korupsi proyek Hambalang ini lemah lantaran banyak terdakwa lain yang dituntut hukuman pencabutan hak politik.
Perhimpunan Magister Hukum Indonesia juga menentang pencabutan hak politik, dengan alasan berbeda.
Organisasi ini menganggap hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut tak bisa diterapkan karena tak dimuat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Dalih ini mengada-ada, lantaran UU No. 31/1999 jelas memasukkan semua pidana tambahan yang diatur dalam KUHP.
Pasal 18 undang-undang itu memuat frasa “selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” .
Artinya, hukuman tambahan dalam KUHP bisa diterapkan selain hukuman tambahan yang diatur dalam undang-undang itu.
Hukuman tambahan dalam KUHP meliputi antara lain larangan menduduki jabatan tertentu, hak dipilih, dan hak memilih.
Jaksa KPK sudah sering pula menuntut pencabutan hak politik. Hanya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selalu mengesampingkan tuntutan ini.
Justru hakim pengadilan banding dan kasasi yang lebih progresif. Hakim banding telah mencabut hak politik Djoko Susilo, terpidana korupsi proyek simulator kemudi.
Hukuman ini kemudian diperkuat oleh putusan majelis kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar.
Belum lama ini, Artidjo dan kawan-kawan juga memperberat hukuman bekas Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq.
Vonis Luthfi dinaikkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Terdakwa juga mendapat hukuman tambahan berupa pencabutan hak pilih.
Putusan kasasi Djoko Susilo dan Luthfi Hasan diharapkan melecut keberanian majelis hakim yang akan memvonis Anas.
Hakim yang menolak hukuman tambahan itu sering berdalih terdakwa yang dihukum penjara otomatis akan sulit terpilih lagi karena masyarakat telah cerdas.
Alasan ini kurang tepat, lantaran sebagian masyarakat masih mudah dikelabui oleh retorika dan janji manis politikus.
Mencabut hak politik merupakan cara paling jitu untuk memerberat hukuman koruptor. Pidana tambahan ini lebih manusiawi dibanding hukuman mati.
Efek jeranya pun bisa luar biasa. Tiada yang lebih menakutkan bagi politikus yang selama ini banyak terlibat kasus korupsi selain hukuman tak bisa lagi tampil di panggung politik.
********
Opini/Tempo.co