Pemkab Garut Didesak Validasi Ulang Korban Cimanuk

Pemkab Garut Didesak Validasi Ulang Korban Cimanuk

854
0
SHARE
Ilustrasi.

Fotografer : John Doddy Hidayat

Garut News ( Sabtu, 18/03 – 2017 ).

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Banyak kalangan aktivis lembaga relawan tergabung Aliansi Masyarakat Peduli Banjir Indonesia (AMPIBI) mendesak Pemkab Garut agar secepatnya melakukan pendataan, verifikasi, dan validasi ulang mengenai jumlah korban dan kerusakan terdampak banjir bandang sungai Cimanuk.

Lantaran, data-data korban dan kerusakan akibat banjir Cimanuk selama ini dijadikan rujukan penanganan serta pengajuan berikut penyaluran bantuan dilakukan Pemkab setempat, disinyalir terdapat banyak kejanggalan, atau tak valid.

Sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan pelayanan terhadap para korban yang berujung timbulnya konflik sosial di antara para korban. Terutama mereka berada di lokasi hunian sementara (huntara) dengan di luar huntara.

“Alhamdulillah, sejak tanggap darurat, kita bekerja sama dengan pemerintah daerah, tetapi kurang kerja sama antarpemerintah daerah. Soal pendataan, yang di SK Bupati itu hanya data pengungsi. Padahal tak semua korban mengungsi, dan belum tentu mengungsi itu korban. Maka, validasi data wajib dilakukan karena berkaitan hajat hidup orang banyak,” ungkap aktivis AMPIBI Andri.

Dikemukakan, indikasi lain kurang terjalinnya koordinasi antar-SKPD di lingkungan Pemkab yakni dengan adanya kejadian seluruh SKPD Pemkab membuka posko sepanjang masa tanggap darurat berlangsung.

Pada pernyataan sikapnya, AMPBI menegaskan, di lapangan, banyak ada ketimpangan layanan kepada korban dilakukan Pemkab. Antara lain daerah terdampak bencana pada masa tanggap darurat meliputi tujuh kecamatan terdiri Kecamatan Garut Kota, Tarogong Kidul, Tarogong Kaler, Banyuresmi, Cibatu, Karangpawitan, dan Kecamatan Bayongbong.

Namun tertera dalam SK Bupati Garut Nomor 360/Kep.563-DSTT/2016 hanya dua kecamatan, yakni Garut Kota, dan Tarogong Kidul. Itu pun tak termasuk korban banjir di luar huntara dari Kelurahan Muarasanding, serta Kelurahan Sukamentri .

Anehnya, berdasar SK Bupati tersebut, dinyatakan daerah terdampak banjir Cimanuk itu meliputi tujuh kecamatan dengan jumlah korban terdiri 787 kepala keluarga (kk) setara 2.525 jiwa, 2.529 rumah rusak berincian 830 rusak berat, 473 rusak sedang, dan 1.226 rusak ringan. Jumlah kerugian mencapai Rp288 miliar, berdasar kajian penilaian di lima sektor yakni permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi, dan lintas sektor.

AMPBI menilai, tak validnya data keluarga korban atau pengungsi menimbulkan konflik sosial di antara korban bencana di luar huntara, seperti di Kelurahan Paminggir terkait pemberian jaminan hidup/lauk pauk. Suplai kebutuhan pokok pun hanya diberikan kepada pengungsi di huntara. Sedangkan terhadap mereka di luar huntara, suplai kebutuhan dihentikan sampai masa tanggap darurat berakhir.

Dampak lain, pelayanan kebutuhan sarana hunian hanya diberikan kepada pengungsi di huntara. Sedangkan pengungsi di luar huntara tak mendapat fasilitas bantuan untuk tempat tinggal. Mereka menumpang di rumah saudara, mengontrak, atau memaksakan diri tetap tinggal di rumah tak laik huni karena belum diperbaiki. Pengungsi atau korban di luar huntara juga tak mendapatkan pelayanan kesehatan sejak 4 Oktober sampai saat ini, seperti halnya pelayanan diberikan kepada pengungsi di huntara.

Ironisnya pula, meski korban khususnya pengungsi dibekali kartu identitas khusus korban banjir Cimanuk, ketika mengakses pelayanan kesehatan ke RSU dr Slamet Garut malahan justru tak diberikan kemudahan.

Mereka baru mendapatkan pelayanan setelah dilakukan pendampingan relawan dilengkapi rekomendasi Dinas Sosial dalam bentuk Surat Keterangan Tidak Mampu. Padahal seharusnya diberikan Surat Keterangan Korban Bencana.

Terdapat juga sejumlah korban kehilangan mata pencaharian. Namun hingga kini belum mendapat layanan pemulihan mata pencaharian.

Keresahan pun menjadi menyeruak di kalangan masyarakat sekitar bantaran sungai Cimanuk, baik terdampak banjir maupun bukan akibat simpang siurnya informasi mengenai penetapan zona merah. Hal itu terutama menimpa warga rumahnya berada persis di kawasan zona merah namun terlanjur memerbaiki kerusakan rumahnya dengan biaya sendiri.

Kegundahan mereka kian diperparah dengan tak jelasnya informasi mengenai pengungsi/korban bencana berhak mendapat hunian tetap.

***********

(NZ, Jdh).

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY