Garut News ( Sabtu, 25/01-2014 ).

MK mengabulkan permohonan agar Pilpres dan Pileg dilakukan serentak.
Tentu bisa dipersoalkan kenapa Mahkamah baru sekarang membacakan putusan sudah ditetapkan tahun lalu itu.
Tetapi Mahkamah sekurang-kurangnya membuka peluang bagi Pemilu dan praktek demokrasi lebih sehat.
Keadaan lebih baik itu memang tak serta-merta berlaku.
DPR pasti kudu membuat undang-undang baru Pemilu serentak pertama pada 2019.
Aturan pelaksanaannya pun kudu dibuat.
Tak soal jika, untuk itu, kemauan partai-partai politik kuat.
Masalahnya, di sinilah justru ada keraguan.
Bagaimana kemauan itu tak segegap-gempita sambutan atas putusan Mahkamah sesungguhnya sudah terlihat melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dan Wapres.
Beberapa pasal undang-undang ini, dimintakan uji materi oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak, kemudian sebagian dibatalkan Mahkamah.
Pasal-pasal itu, terutama belum dibatalkan, mengatur perolehan kursi minimal sebagai syarat mengajukan capres dan wapres, mencerminkan ego partai-partai besar.
Hasrat partai melayani kepentingan diri sendiri itu teramat besar.
Partai bahkan tak merasa risau jika kudu melahirkan undang-undang pasal-pasalnya tak sejalan atawa bertabrakan dengan konstitusi.
Dalam hal ketentuan tentang Pilpres dan Wapres, jika partai setia merujuk pada pembahasan peraturan-peraturannya dalam sidang amendemen konstitusi, keinginan melahirkan aturan-aturan cacat itu semestinya tak perlu ada.
Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 malahan gamblang menegaskan Pemilu diadakan sekali dalam lima tahun, tanpa menyinggung pemilihan terpisah.
Pasal inilah, antara lain, oleh pemohon uji materi diperhadapkan dengan pasal-pasal dianggap bermasalah dalam Undang-Undang Nomor 42/2008.
Munculnya keraguan terhadap kemauan partai itu sebenarnya bisa dihindari jika Mahkamah cukup menentukan apakah undang-undang berlaku sesuai konstitusi atawa sebaliknya.
Pada putusannya, Mahkamah memang hati-hati: dengan mengabulkan permohonan uji materi, dan baru memberlakukannya mulai tahun depan, kekacauan penyelenggaraan pemilu tahun ini bisa dihindari.
Namun, menentukan kapan undang-undang dinyatakan inkonstitusional sebenarnya bisa berarti Mahkamah sekaligus membuat peraturan.
Tindakan membuat peraturan seperti itu memang bukan sesuatu diharapkan dilakukan Mahkamah Konstitusi.
Masalah apakah Pilpres dan Wapres dilakukan terpisah atawa serentak dengan Pileg juga sama sekali tak bersifat genting.
Maka, putusan terhadap permohonan Koalisi boleh dibilang melampaui porsinya.
Jika hal-hal itu terabaikan, baik para pemohon uji materi maupun publik secara luas, pasti lantaran apa seketika terlihat di cakrawala lebih mengundang antusiasme: di negeri ini bakal berlangsung pemilihan umum serentak.
***** Opini/Tempo.co