– Ahmad Taufik, pegiat Indonesia Prison Studies
Garut News ( Kamis, 19/03 – 2015 ).

Usul Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pekan lalu kontan mengundang reaksi, terutama dari pegiat antikorupsi.
Usul itu dianggap pro-koruptor.
Apa benar pro-koruptor? Sebenarnya alasan pernyataan dan kritik itu terlalu sederhana. Sebab, justru penentang usul Menteri Layoli kali ini itulah yang menciptakan peluang korupsi.
Persoalan pemasyarakatan adalah urusan Kementerian Hukum dan HAM. Seperti alasan Menteri Layoli, institusinya hanyalah pelaksana putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan boleh dikatakan seperti kejatuhan “durian busuk”.
Kementerian Hukum dan HAM, dalam hal ini Dirjen Pemasyarakatan, tak boleh menambah hukuman terhadap seseorang yang sudah dijatuhi hukuman oleh majelis hakim terakhir.
Dengan begitu, Dirjen Pemasyarakatan tidak turut menghukum seseorang melebihi kesalahannya, kecuali sesuai dengan aturannya, yaitu melakukan pembinaan.
Namun, apa yang terjadi sering kali bukan pembinaan, melainkan menambah berat penderitaan. Penjara atau lembaga pemasyarakatan seolah tak berubah seiring dengan berjalannya waktu: dari negara otoriter melalui reformasi ke arah demokrasi.
Tahanan dan narapidana tetap menjadi korban, dan hak-hak sebagai narapidana lebih sering diabaikan.
Hak-hak seorang narapidana sebenarnya harus dipenuhi dan dijamin oleh Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Disebutkan setiap narapidana diberikan hak untuk mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, serta asimilasi.
Hak-hak narapidana tersebut harus dipenuhi oleh negara dengan syarat dan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengaturan dalam perundang-undangan inilah yang menimbulkan Karut-marut regulasi mengenai pemasyarakatan.
Tambal sulam aturan itu menyebabkan tidak terjadi kepastian hukum dan dimanfaatkan sebagai peluang “oknum-oknum” di institusi.
Masih banyak aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan hukuman seseorang, dalam lingkup pemasyarakatan, yang mencederai keadilan.
Seorang pejabat yang mengurus urusan penjara (pemasyarakatan), menurut Mas Achmad Santosa, mencatat paling tidak terdapat 10 modus operandi penyalahgunaan wewenang dalam praktek pemasyarakatan.
Antara lain penempatan tahanan; pemenuhan kebutuhan biologis; serta pemberian hak, seperti remisi, asimiliasi, cuti bersyarat, pelepasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas.
Sebagai bekas narapidana, penulis mendukung Menteri Hukum dan HAM memperbaiki sistem pemasyarakatan, termasuk pemberlakuan secara elektronik hak-hak narapidana.
Ini juga menutup peluang korupsi, dan menjamin adanya kepastian hukum seseorang yang menjalani hukuman.
Sudah saatnya negara melalui pemerintah mengharmonisasi peraturan-peraturan yang sesuai dengan semangat anti-diskriminasi.
Pada masa mendatang, semoga sistem pemasyarakatan kita setahap demi setahap mampu memenuhi prinsip-prinsip dasar perlakuan terhadap penghuni rumah tahanan dan penjara sesuai dengan prinsip internasional, “standard minimum rules for the treatment of prisoners”.
*******
Kolom/Artikel Tempo.co