Garut News ( Sabtu , 07/02 – 2015 ).

Cara sejumlah oknum penyidik Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menangkap Bambang Widjojanto sangat jelas menabrak banyak aturan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan upaya paksa terhadap anggota pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi itu melanggar hak asasi manusia.
Tidak hanya itu, polisi juga dinilai telah menyalahgunakan kekuasaan, menggunakan kekuasaan secara berlebihan, menabrak asas legalitas, dan menerapkan hukum secara tidak proporsional.
Temuan Komisi Nasional HAM ini tak mengejutkan. Sejak awal terlihat penangkapan itu merupakan upaya rekayasa menetapkan Bambang sebagai tersangka.
Alasan penangkapan pun dicari-cari: dugaan pemalsuan kesaksian dalam sidang sengketa hasil pemilihan Bupati Kotawaringin Barat pada 2010.
Saat itu, Bambang merupakan pengacara salah satu calon bupati.
Bambang ditangkap lima hari setelah KPK mengumumkan status tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan, calon Kepala Polri pilihan Presiden Joko Widodo.
Penangkapan dilaksanakan oleh tim di bawah Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso, yang merupakan bekas anak buah Budi Gunawan.
Operasi ini dilakukan bukan oleh struktur resmi Bareskrim, melainkan oleh satuan tugas yang baru dibentuk.
Sesuai dengan prosedur, pembentukan satuan tugas di Bareskrim semestinya melalui surat perintah yang diteken Kepala Polri, dalam hal ini Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas.
Namun, dalam kasus penangkapan Bambang, aturan ini ditabrak oleh penyidik yang bergerak secara liar. Diduga, ini semua hanya didasari perintah lisan Budi Waseso.
Temuan Komnas HAM bahwa terjadi penyalahgunaan kekuasaan juga semakin menguatkan indikasi bahwa langkah pejabat polisi menangkap tak berlandaskan hukum semata, tetapi juga sebagai bagian dari upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.
Melihat anggota-anggota tim satuan tugas yang dipakai, tak tertutup kemungkinan penangkapan itu merupakan operasi balas dendam oleh Budi Gunawan.
Sekarang, ketika sudah dipastikan telah terjadi pelanggaran dalam kriminalisasi terhadap Bambang, Komisi Nasional mesti bergerak lebih maju dengan membentuk pengadilan hak asasi.
Upaya ini mesti dikedepankan agar temuan tersebut bisa menjadi upaya menjerat para pejabat polisi yang bersalah.
Di samping itu, pemberian sanksi kepada siapa saja yang terlibat bisa menimbulkan efek jera bagi polisi agar lebih taat asas dalam melaksanakan tugas.
Pemerintah harus menindaklanjuti temuan Komnas HAM ini. Presiden Joko Widodo tak boleh tutup mata bahwa telah terjadi operasi kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.
Sebagai presiden/kepala negara, yang punya wewenang atas institusi Polri, Jokowi bisa menonaktifkan sementara pejabat polisi yang terlibat.
Tanpa langkah tegas ini, mereka akan merasa melakukan kriminalisasi terhadap seluruh pimpinan KPK adalah sah.
Jika Jokowi tak bertindak, ia akan dicatat sejarah sebagai presiden yang membiarkan komisi antikorupsi dihancurkan lembaga penegak hukum lain.
*******
Opini Tempo.co