Tati D. Wardi, Mahasiswi s-3 ohio state university
Jakarta, Garut News ( Sabtu, 30/11 ).
Pendidikan yang berporos pada kemampuan nalar belakangan menjadi isu yang gencar disuarakan para ahli pendidikan.
Prof Iwan Pranoto, guru besar matematika Institut Teknologi Bandung, misalnya, dalam sejumlah tulisannya mengingatkan soal pendidikan bernalar.
Kemampuan bernalar dalam konteks ini mencakup daya berpikir logis, keterampilan mengolah informasi dari bacaan, dan kemampuan menyimpulkan dengan pemikiran sendiri.
Dalam disiplin ilmu pendidikan, kemampuan nalar sejatinya bertaut erat dengan literasi.
Perlu dicatat, konsep literasi di sini tak lagi dimaknai secara sempit yang terbatas pada kemampuan baca-tulis, tapi juga berkaitan dengan kemampuan memaknai teks, seperti huruf, angka, dan simbol kultural, seperti gambar dan simbol secara kritis.
Literasi dalam arti luas seperti ini sejatinya sudah cukup lama menjadi acuan UNESCO.
Ini bisa kita baca dari Literacy for Life, laporan UNESCO tahun 2006 tentang literasi dunia.
Di situ dinyatakan, literasi adalah hak dasar manusia sebagai bagian esensial dari hak pendidikan.
Terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses sains, pengetahuan teknologi, dan aturan hukum, serta mampu memanfaatkan kekayaan budaya dan daya guna media.
Singkatnya, literasi menjadi poros upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Karena itu, ia merupakan sumbu pusaran pendidikan.
Untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia di bidang literasi ini, yang paling mendesak untuk dilakukan adalah merevisi paradigma usang literasi dan menggantinya dengan paradigma yang lebih merefleksikan kebutuhan berliterasi di era ketika siswa dikelilingi teks, informasi, dan gambar dari pelbagai penjuru.
Upaya strategis yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan daya literasi Indonesia secara menyeluruh dan berkesinambungan adalah dengan memulainya dari pendidikan di sekolah.
Negara dengan tingkat literasi tinggi, seperti Finlandia, Jepang, dan Amerika, secara sistematis menempatkan buku sebagai pusaran kegiatan pembelajaran.
Di Amerika, misalnya, sejak jenjang pendidikan dini, anak diperkenalkan dengan konsep buku dan berdialog dengan teks dan gambar.
Dengan dibantu guru, sejak belia siswa dibiasakan bertanya, termasuk pesan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang buku.
Mereka belajar berdialog dengan teks, bukan sekadar membaca sambil lewat.
Di jenjang sekolah dasar, siswa dikondisikan untuk belajar memperkaya kosakata dan menumbuhkan daya analisis mereka menggunakan bacaan berjenjang (leveled reading) yang disesuaikan dengan tingkat kognitif dan kematangan mereka.
Bacaan berjenjang biasanya dibedakan seberapa kompleks bacaan (seperti kosakata, struktur, logika, dan konsep).
Ketika di tingkat menengah, siswa akan terbiasa mendiskusikan buku beragam genre, dan teks beragam bentuk (seperti digital) dengan tingkat kesulitan sesuai dengan yang diharapkan di perguruan tinggi ataupun dengan kebutuhan literasi ketika mereka terlibat langsung dengan masyarakat luas.
Pada akhirnya, keterbiasaan dengan buku akan menumbuhkan cinta mereka terhadap membaca.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kasus di atas?
Satu hal yang pasti: peningkatan literasi terkait erat dengan pengoptimalan peran buku.
Fungsi buku dan teks bukan sekadar rujukan, tapi juga sebagai medium untuk berpikir kritis dengan cara mendiskusikan makna yang bukan sekadar permukaan.
Pendidikan yang melibatkan buku dan bahan bacaan (lebih dari sekadar buku teks) sebagai sumber ajar akan memfasilitasi guru dan siswa dalam proses pembelajaran yang dialogis, aktif, dan kritis.
Buku tentu saja bukan satu-satunya faktor di sini.
Peningkatan literasi siswa juga mengandaikan perlunya guru dipersiapkan untuk menanamkan pemahaman literasi dan mengajarkannya di kelas.
Dengan begitu, siswa punya kesempatan meningkatkan daya literasi mereka di sekolah.
Korelasi antara literasi dan peran guru inilah yang menjadi salah satu temuan penelitian saya dua tahun lalu di Jakarta.
Saya melibatkan mahasiswa calon guru di UIN Jakarta sebagai fokus penelitian.
Mereka saya minta belajar memahami dan membaca buku dan teks dengan kritis.
Ketika membaca buku berilustrasi, saya memperkenalkan konsep narasi dalam relasi teks dan gambar yang ada dalam suatu buku.
Asumsinya, teks dan gambar sejatinya memiliki cara unik untuk menyampaikan cerita sesuai dengan yang diinginkan oleh pengarang.
Saya meminta para mahasiswa calon guru tersebut lebih memperhatikan secara saksama pesan dalam teks, dan bagaimana pesan itu disampaikan, juga efek apa yang diinginkan terhadap pembaca.
Hasilnya, mereka membaca dengan lebih kritis dan cenderung tidak menerima begitu saja informasi yang mereka baca.
Paradigma baru literasi, yang tak lagi berpuas diri pada kemampuan baca-tulis, tapi juga peningkatan daya nalar siswa, tentunya mensyaratkan proses peningkatan literasi yang berkesinambungan, dari jenjang pendidikan dini hingga dewasa.
Tak ada jalan pintas untuk itu.
**** Sumber : Kolom/artikel Tempo.co