Ilustrasi Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 10/10 – 2016 ).

Polisi seharusnya merupakan sosok yang tangguh, tak mudah menyerah apalagi gampang frustrasi. Itu sebabnya, siapa pun yang masuk lembaga ini, ia mesti melalui berbagai tes: fisik maupun mental. Tugas menuntut mereka mesti prima di lapangan dan tahan menghadapi berbagai tekanan.
Karena itu, munculnya kasus bunuh diri sejumlah polisi menimbulkan pertanyaan: apa yang terjadi pada polisi-polisi itu? Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian sudah benar memerintahkan jajarannya segera meneliti secara menyeluruh penyebab bunuh diri tersebut. Kasus bunuh diri anggotanya itu tak boleh dianggap sepele.
Jumlah mereka yang bunuh diri terhitung mengejutkan. Hingga awal Oktober, tercatat 16 polisi, dari berbagai pangkat dan jabatan, tewas bunuh diri. Mereka mengakhiri hidup dengan beragam cara: dari menembak kepala sendiri, menembak dada, hingga menenggak racun.
Kasus bunuh diri terakhir terjadi pekan lalu. Kepala Kepolisian Sektor Karangsembung, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Inspektur Dua Nyariman, gantung diri di ruang kerjanya. Dua hari sebelumnya, anggota Brigade Mobil Polda Yogyakarta, Brigadir Kepala Iwan Rudiyanto, menembak kepala sendiri di kediaman kawannya di Kelurahan Sindurjan, Purworejo.
Dibanding jumlah polisi yang 430 ribu orang, memang yang bunuh diri itu tidak seberapa. Namun, jika melihat jumlahnya yang makin meningkat, ini tentu mencemaskan. Pada 2015, misalnya, hanya ada tiga kasus polisi bunuh diri. Sedangkan pada 2014 tujuh kasus dan pada 2013 dua kasus. Bahkan pada 2012 hanya ada satu kasus.
Perlu upaya serius untuk menanggulangi masalah ini. Karena itu, instruksi Kapolri agar Pusat Kedokteran dan Kesehatan serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepolisian mencari penyebab tindakan bunuh diri para polisi itu sangatlah tepat. Salah satu yang harus diteliti adalah sistem rekrutmen, baik rekrutmen untuk memilih calon polisi maupun rekrutmen dalam rangka kenaikan jenjang.
Sistem rekrutmen untuk calon polisi semestinya menghasilkan calon polisi yang sehat dan bermental tangguh. Adapun rekrutmen untuk jenjang lebih tinggi seharusnya membuahkan polisi yang memiliki kualitas dan memenuhi syarat untuk jenjang tersebut.
Di sini kadang terjadi permainan. Uang membuat rekrutmen itu menghasilkan calon-calon yang sebenarnya tak layak. Kasus bunuh diri Nyariman, misalnya, diduga terkait dengan soal ini. Ia diduga gagal meloloskan seorang calon bintara, sementara dirinya sudah menerima uang pelicin.
Di luar itu, sejumlah penyebab lain bisa menjadi pemantik. Misalnya tergiur gaya hidup mewah, sementara gaji tidak bisa memenuhi hasrat tersebut. Di sinilah pentingnya para petinggi polisi memberi contoh, yakni hidup sederhana dan menghayati sumpah mereka sebagai anggota Bhayangkara.
Bukan malah sebaliknya: melakukan korupsi dan memamerkan kekayaan, termasuk ke sana-kemari mengendarai mobil atau sepeda motor mewah berharga ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah.
***
Opini Tempo.co