– Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan
Jakarta, Garut News ( Sabtu, 08/03 – 2014 ).
Membaca berita 19 warga negara Indonesia masuk daftar orang terkaya sedunia versi majalah Forbes, muncul berbagai perasaan yang campur aduk.
Para nasionalis kritis yang punya sentimen kelas dan terobsesi keadilan mungkin merasa galau membaca berita itu.
Betapa tidak.
Di negara yang warganya masih banyak yang terpaksa hidup miskin ini-akibat berbagai ketidakadilan-ternyata ada orang-orang superkaya.
Betapa melimpahnya akses ekonomis mereka, di tengah puluhan juta orang yang masih menganggur dan berpenghasilan di bawah Rp 50 ribu per hari.
Sementara itu, menurut Forbes, orang kaya adalah mereka yang sekurang-kurangnya mempunyai penghasilan US$ 1 juta setahun.
Adapun para nasionalis yang tidak punya sentimen kelas mungkin merasa bangga karena belasan orang Indonesia terkaya turut mengharumkan nama bangsa dan negara.
Orang-orang terkaya itu bak meteor yang melesat, menaburkan cahaya di langit dunia sambil memaklumkan: tidak semua orang Indonesia miskin.
Bayangkan, kekayaan 19 orang itu mencapai triliunan rupiah.
Di dunia modern Barat, kesuksesan ekonomi yang memberi hasil melimpah mendorong para pebisnis sukses dan kaya untuk melakukan tindakan filantropis.
Biasanya mereka mendirikan berbagai yayasan amal-sosial-kultural.
Filantropi dijadikan sebagai jalan penebusan terhadap dunia yang tidak lagi kuyup dengan nilai-nilai ideal.
Surga yang telah hilang dibakar oleh pragmatisme dan fungsionalisme, coba mereka kembalikan melalui jalan filantropis itu.
Tampaknya, mereka pun mempercayai “iman” di dalam bisnisnya, yakni pentingnya mengembalikan sebagian keuntungan kepada publik dunia melalui berbagai aktivitas kultural-sosial.
Alhasil, sebagian warga dunia yang kurang beruntung dalam hidupnya bisa mengembangkan seluruh potensi pribadi/komunitasnya.
Ini menunjukkan mereka tanpa sadar meyakini ungkapan “dalam harta orang kaya terdapat hak orang miskin”.
Di luar itu, para filantropis Barat memahami bahwa manusia sejatinya memiliki tugas-tugas profetis (kenabian) yang membebaskan orang lain sekaligus meninggikan eksistensinya.
Aktualisasi nilai-nilai itu menunjukkan bahwa ternyata tidak semua orang Barat yang sukses selalu rakus dan posesif terhadap semua yang dimilikinya.
Sejarawan dan budayawan Kuntowijoyo (almarhum) menilai, kebangkitan kelas menengah di Indonesia kurang disertai dengan aktualisasi nilai-nilai filantropis dan profetis.
Kesuksesan yang melimpah biasanya lebih diorentasikan untuk pengembangan usaha.
Kelas menengah di negeri ini cenderung gemar mempunyai banyak perusahaan yang mendatangkan keuntungan daripada banyak yayasan amal sosial-kultural.
Akibatnya, keberadaan orang kaya, dengan keuntungan material yang melimpah itu, hampir kurang bermakna bagi jutaan orang miskin yang sangat membutuhkan uluran tongkat untuk keluar dari lumpur penderitaan.
Tampaknya, belum semua kaum kelas menengah (atas) negeri ini memahami wisdom “dalam harta orang kaya terdapat hak orang miskin” atau mengenal “politik penebusan” untuk menciptakan dunia yang lebih ideal; melalui jalan filantropis dan spirit profetis.
Kenyataan ini bersanding manis dengan berbagai ketidakadilan yang menciptakan kemiskinan struktural.
Karena itu, lagu Rhoma Irama, Indonesia, masih relevan untuk bergema: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
*****
Kolom/Artikel Tempo.co