
Rabu 12 September 2018 09:41 WIB
Red: Elba Damhuri
“BI ada di persimpangan jalan dalam membuat kebijakan perkuat rupiah”

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ronny P Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct)
Pemerintah masih harus mewaspadai volatilitas rupiah sampai akhir tahun. Penguatan yang terpantau beberapa hari ini, setelah rupiah menembus level Rp 15 ribu per dolar AS, dikhawatirkan hanya sebagai gerak koreksi (retracement), bukan perubahan tren.
Karena sebagaimana biasanya, tekanan terhadap nilai tukar rupiah biasanya masih besar setelah kuartal II-2018. Setelah tekanan pembayaran kewajiban pemerintah ke luar negeri, ancaman penipisan cadangan devisa, dan kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve (the Fed) yang diperkirakan sekitar sekali sampai dua kali lagi sudah menanti.
Pada kuartal I tahun ini, tekanan datang dari sisi current account (transaksi berjalan). Pada kuartal II, tekanan dari sisi pembayaran kewajiban pemerintah ke luar negeri dan pada kuartal III dan IV juga tak lebih baik.
Tekanan datang dari turunnya cadangan devisa akibat aksi menahan pelemahan rupiah di kuartal II serta rencana aksi the Fed sampai akhir tahun.
Sebagaimana dicatat BI, transaksi berjalan selalu mengalami peningkatan defisit pada kuartal II dibandingkan kuartal I karena imbas pembayaran bunga utang pemerintah dan utang swasta ke luar negeri. Selain itu, pada kuartal II ada pembagian dividen.
Kekhawatiran tekanan terhadap rupiah tersebut tentu bukan tanpa alasan. Berkaca pada 2017, misalnya, defisit transaksi berjalan kuartal II tercatat sebesar 4,80 miliar dolar AS, naik dari kuartal sebelumnya 2,18 miliar dolar AS.
Pada saat bersamaan, neraca pendapatan primer menyumbang kenaikan defisit dari 7,77 miliar dolar AS menjadi 8,39 miliar dolar AS. Sementara dari sisi Amerika, sisa tahun ini akan dirongrong oleh data-data ekonomi AS yang kian mentereng.
Meskipun data pengangguran dirilis stabil, pendapatan masyarakat di luar sektor pertanian (nonfarm payroll) justru terpantau makin membaik pada Jumat lalu.
Artinya, peluang kenaikan inflasi AS akan semakin besar yang diperkirakan diikuti rencana lanjutan kenaikan suku bunga The Fed. Sebelumnya, yield US Treasury 10 tahun masih diperdagangkan pada level 3,07 persen.
Perkembangan imbal hasil SSB di AS tersebut, memberikan sinyal kepada pelaku pasar keuangan dunia bahwa perekonomian AS sedang berada dalam kondisi baik. Arti lainnya, potensi kenaikan inflasi ke depan juga semakin besar.
Data Personal Consumption Expenditure (PCE) yang biasanya mengindikasikan 70 persen GDP di AS, tercatat naik menjadi 1,88 persen per 30 April 2018 (naik dibandingkan akhir 2017 yang tercatat 1,52 persen).
Begitu pula, angka Consumer Price Index (CPI), indikator lain untuk proyeksi inflasi yang menggambarkan pengeluaran konsumen, juga naik menjadi 2,5 persen dari sebelumnya tercatat 2,1 persen (akhir 2017).
Kondisi tersebut diperkuat hasil pertemuan Federal Reserve bulan Mei 2018 yang cenderung menoleransi kenaikan inflasi AS ke depan, sehingga memunculkan keyakinan bahwa kebijakan moneter di AS akan condong ke arah kenaikan suku bunga acuan (hawkish: semakin kuat dan baik), sampai akhir 2018 yang diperkirakan naik dua kali lagi.
Dengan kata lain, gejolak nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan terus berlanjut. Lantas pertanyaannya, seberapa kuat fundamental ekonomi mampu menopang rupiah?
Cadangan devisa yang kian tipis meskipun dinilai di atas standar global, laju inflasi yang terkendali, defisit neraca pembayaran, defisit transaksi berjalan, dan pertumbuhan ekonomi yang terbilang sedang-sedang saja, semestinya membuat pemerintah lebih waspada terhadap tekanan eksternal.
Dalam perspektif teoretis, kekuatan mata uang domestik terhadap mata uang asing dapat dijelaskan dari tiga pendekatan. Pendekatan paling sederhana adalah paritas daya beli (purchasing power parity).
Teori yang satu ini menegaskan, nilai tukar sebagai cerminan dari perbedaan daya beli mata uang di kedua negara. Konsep dasarnya, suatu barang sejatinya memiliki harga yang sama karena biaya produksinya diasumsikan sama.
Perbedaan harga yang dinilai berdasarkan mata uang masing-masing negara dengan sendirinya menunjukkan nilai tukar. Hukum satu harga (the law of one price) menjamin nilai tukar mengikuti transaksi barang yang menjadi underlying-nya.
Daya beli uang terhadap banyak komoditas direpresentasikan oleh indeks harga konsumen. Dan kenaikan relatif indeks harga konsumen dikenal sebagai inflasi. Karena itu, teori ini memberikan resep nilai tukar akan stabil jika laju inflasi di masing-masing negara terkendali.
Dengan alur logika ini pula, BI menganggap depresiasi rupiah hanyalah gejolak sementara. Pendekatan paritas daya beli secara implisit mengasumsikan uang semata-mata hanya sebagai alat tukar (medium of exchange).
Pelaku ekonomi diasumsikan hanya memiliki dua alternatif aset, pegang uang tunai atau barang. Pada kenyataannya, uang bisa juga dipakai sebagai media spekulasi untuk mendapatkan imbal hasil (retur).
Pertimbangannya, jika memegang uang tunai, pelaku ekonomi akan likuid untuk bertransaksi barang/jasa. Namun begitu, memegang uang tunai tidak memberikan imbal hasil dibandingkan jika disimpan di perbankan, misalnya.
Artinya, suku bunga (domestik dan luar negeri) menjadi determinan penting dalam menentukan nilai tukar. Imbal hasil perbankan merujuk pada suku bunga acuan yang ditetapkan bank sentral. Perbedaan suku bunga lintas negara disebut suku bunga diferensial.
Oleh karena itu, muncul pendekatan kedua yang menyarankan, nilai tukar akan stabil jika selisih suku bunga antarnegara dijaga dalam rentang yang kokoh. Beranjak dari tesis ini, kenaikan Fed Fund Rate dari The Fed, Bank Sentral Amerika, tanpa diikuti kenaikan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate(7DRRR), misalnya, niscaya akan memperbesar suku bunga diferensial.
Walhasil, diperkirakan dana-dana akan mengalir ke AS sebagaimana kekhawatiran banyak pihak. Akibatnya, likuiditas pasar uang domestik akan menipis karena pembelian dolar yang meningkat, kemudian cadangan devisa akan terkuras yang selanjutnya akan mendepresiasi kembali nilai tukar rupiah.
Teori-teori tersebut dalam taraf tertentu mampu menjelaskan perilaku nilai tukar rupiah, meski masih dianggap kurang memuaskan. Biasanya para ekonom akan melengkapi analisisnya dengan pendekatan portofolio yang mengasumsikan instrumen investasi memberikan return tidak hanya berupa perbankan, tetapi juga produk finansial lainnya, seperti surat utang, saham, dan obligasi.
Sementara terkait suku bunga tadi, terbukti dalam tiga tahun terakhir the Fed sudah menaikkan FFR lima kali. Sementara itu, BI malah menurunkan suku bunga acuannya delapan kali. Artinya, proposisi suku bunga diferensial tidak berjalan sebagaimana idealitas teoretisnya. Persoalan kian kompleks saat ketiganya berinteraksi.
Secara normatif, jika pergerakan inflasi terjaga, suku bunga acuan akan stabil, sehingga nilai tukar juga akan stabil. Dengan alur ini, laju inflasi seharusnya sebanding dengan depresiasi. Faktanya, laju depresiasi (10 persen) ternyata lebih tinggi dibandingkan inflasi bulanan (3,5 persen), dan BI baru menaikkan suku bunga dua kali menjadi 5,5 persen (kenaikan 0,75 persen).
Kondisi semacam ini berakibat BI memiliki kesulitan dalam menentukan besaran suku bunga acuan. Repotnya lagi, BI akan dibimbangkan opsi apakah akan berorientasi ke dalam (inflasi) atau berorientasi keluar (suku bunga the Fed)?
Jika dipaksakan berorientasi ke luar, diperkirakan akan terhalang perang dagang AS dengan Cina. Artinya, lalu lintas barang/jasa yang menjadi landasan berpijak dalam menentukan nilai tukar bisa semakin seret dan akan membuat nilai tukar tidak lagi mencerminkan kinerja perekonomian yang sesungguhnya.
Jika berorientasi ke dalam, disparitas suku bunga diferensial juga terancam melebar yang bisa membuat rupiah semakin keok.
Terkait perang dagang, tim perunding AS menggunakan ancaman tarif lainnya untuk menekan Cina agar kebijakan transfer teknologi perusahaan AS yang akan beroperasi di Cina dihapuskan.
Kalau itu berhasil, dan perusahaan AS yang melakukan bisnis di Cina tanpa dipaksa membayar ongkos kompetisi yang sangat mahal, kebijakan ancaman tarif segera akan menjadi alat kebijakan perdagangan internasional yang sangat mujarab.
Tentu kebijakan tersebut akan berdampak pada perekonomian nasional. Produk-produk Cina yang tidak dapat masuk ke AS akan mengalir ke negara lain, termasuk Indonesia.
Artinya, jika ekspor Indonesia belum mampu mengimbangi impor yang terus naik akibat kenaikan belanja modal domestik sebagai pertanda bergeliatnya sektor produktif dalam negeri, defisit perdagangan akan berlanjut. Risikonya kemudian, daya tahan rupiah akan semakin rapuh.
*******
Republika.co.id